Selasa, 05 Februari 2013

TUJUAN PENDIDIKAN



A.           Pengertian Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan gambaran dari falsafah atau pandangan hidup manusia, baik secara perseorangan maupun kelompok. Membicarakan tujuan pendidikan akan menyangkut sistem nilai dan norma-norma dalam suatu konteks kebudayaan, baik dalam mitos, kepercayaan dan religi, filsafat, ideologi, dan sebagainya. [2]
     Tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah mencerdaskan potensi-potensi spiritual, intelektual, dan emosional setiap individu yang pada gilirannya berpengaruh terhadap masyarakat luas.[3] Tujuan pendidikan  itu bersifat dinamis, yaitu setiap zaman tujuannya bisa berubah-ubah sesuai kebutuhan pada zaman tersebut. Selain itu tujuan pendidikan  juga dipengaruhi oleh kebudayaan, sehingga tujuan pendidikan akan berbeda-beda sesuai dengan kebudayaan daerah setempat.
     Tujuan pendidikan menurut para ahli filsafat yaitu:
1)   Plato, mengatakan bahwa tujuan pendidikan sesungguhnya adalah penyadaran terhadap self knowing dan self realization kemudian inquiry dan reasoning and logic. Jadi disini tujuan pendidikan adalah memberikan penyadaran terhadap apa yang diketahuinya, kemudian pengetahuan tersebut harus direalisasikan sendiri dan selanjutnya mengadakan penelitian serta mengetahui kausal, yaitu alasan dan alur pikirannya.
2)   Aristoteles, mengatakan tujuan pendidikan adalah penyadaran terhadap self realization yaitu kekuatan efektif (virtue) kekuatan untuk menghasilkan (efficacy) dan potensi untuk mencapai kebahagiaan hidup melalui kebiasaan dan kemampuan berfikir rasional.
3)   Menurut John Dewey, tujuan pendidikan adalah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik sehingga dapat berfungsi secara individual dan berfungsi sebagai anggota masyarakat melalui penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang bersifat aktif, ilmiah, dan masyarakat serta berdasarkan kehidupan nyata yang dapat mengembangkan jiwa, pengetahuan, rasa tanggung jawab, keterampilan, kemauan, dan kehalusan budi pekerti.[4] Seluruh pendidikan Dewey itu didasarkan atas filsafat pragmatisme, artinya sesuatu pengetahuan berdasarkan atas berguna atau tidak berguna dalam kehidupan manusia. Apa yang tidak berguna tidak perlu diajarkan disekolah. Sebaliknya apa yang menguntungkan bagi hidupnyalah yang diajarkan.[5]
Pendidikan di Indonesia terproyeksikan pada ideologi Pancasila dan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai falsafahnya. Oleh karena itu, tujuan pendidikan secara umum ditujukan untuk menghasilkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang sikap dan perilakunya senantiasa dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.[6]
Telah dikatakan bahwa rumusan tujuan pendidikan selalu mengalami perubahan sesuai dengan tuntunan perkembangan kehidupan masyarakat dan negara yang bersangkutan. Berikut ini beberapa contoh rumusan tujuan pendidikan yang telah dikemukakan di dalam Ketetapan MPRS dan MPR,  UUSPN No. 2 Tahun 1989, UU SISDIKNAS No. 2 Tahun 2003.
a)    Di dalam Tap MPRS No. XXVII/MPRS/1966 Bab 2 Pasal 3 dicantumkan: “Tujuan Pendidikan membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki Pembukaan dan Isi Undang-Undang Dasar 1945”.
b)   Tap MPR No.IV/MPR/1978 menyebutkan: “Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan bertujuan meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa’’.
c)    Di dalam Tap MPR No. II/MPR/1988 dikatakan: “Pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, dan terampil, serta sehat jasmani dan rohani”.
d)   Yang terakhir, di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dijelaskan, “Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”[7]
e)    Menurut Undang-Undang SISDIKNAS No.20 Tahun 2003 pasal 3, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pengertian tujuan pendidikan jika dilihat dari mazhab-mazhab filsafat pendidikan sebagai berikut:
a)    Filsafat pendidikan idealisme: Pendidikan formal dan informal bertujuan membentuk karakter, dan mengembangkan bakat atau kemampuan dasar, serta kebaikan sosial.[8]
b)   Filsafat pendidikan realisme: tujuan pendidikan adalah penyesuaian hidup dan tanggung jawab sosial.[9]
c)    Filsafat pendidikan materialisme: tujuan pendidikan adalah perubahan perilaku, mempersiapkan manusia sesuai dengan kapasitasnya, untuk tanggung jawab sosial dan pribadi yang kompleks.[10]
d)   Filsafat pendidikan pragmatisme: tujuan pendidikan adalah memberi pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi.[11]
e)    Filsafat pendidikan eksistensialisme: tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri.[12]
f)    Filsafat pendidikan progresivisme: tujuan pendidikan adalah memberikan keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungan yang berada dalam proses perubahan secara terus menerus.[13]
g)   Filsafat pendidikan perenialisme : tujuan pendidikan adalah memastikan bahwa para siswa memperoleh pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau gagasan-gagasan besar yang tidak berubah.[14]
h)   Filsafat pendidikan esensialisme : Tujuan pendidikan adalah untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurun waku yang lama, serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu dan dikenal oleh semua orang.[15]
i)     Filsafat pendidikan rekonstruksionisme : Pendidikan bertanggung jawab dalam menciptakan aturan sosial yang ideal. Transmisi budaya adalah esensial dalam masyarakat yang majemuk. Transmisi budaya harus mengenal fakta budaya tersebut.[16]

B.            Gambaran Filosofi Tujuan Pendidikan di Indonesia
Tujuan pendidikan nasional Indonesia pun tidak terlepas dari pengaruh madzhab-madzhab filsafat pendidikan tersebut. Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik, ini berkaitan dengan filsafat pendidikan idealisme yang berusaha pula mengembangkan bakat atau kemampuan dasar dalam tujuan pendidikannya. Potensi peserta didik dalam tujuan pendidikan Indonesia harus membentuk manusia yang cakap, kreatif dan mandiri. Hal ini pula berkaitan dengan filsafat pendidikan progresivisme yang menekankan pemberian keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Yang dimaksud dengan alat-alat disini adalah keterampilan pemecahan masalah (problem solving) yang dapat digunakan oleh individu untuk menentukan, menganalisis, dan memecahkan masalah.
Dilihat dari karakteristik pendidikan Indonesia secara umum pendidikan Indonesia cenderung kepada filsafat progresivisme. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam pendidikan Indonesia saat ini bahwa :
1.      Pendidikan harus terpusat pada anak (child-centered), bukan memfokuskan pada guru atau bidang muatan.
2.      Pembekalan terhadap keterampilan pemecahan masalah, proses belajar terpusatkan pada perilaku cooperative.
3.      Kurikulum menggunakan pendekatan interdisipliner, muatan kurikulum diperoleh dari minat-minat siswa.
4.      Pengajaran dikatakan efektif jika mempertimbangkan anak secara menyeluruh dan minat-minat serta kebutuhan-kebutuhannya dalam hubungannya dengan bidang-bidang kognitif, afektif, dan psikomotor.
5.      Bertujuan mengajar siswa berfikir rasional sehingga mereka menjadi cerdas, yang memberi kontribusi pada masyarakat.
Jadi menurut progresivisme, pendidikan di Indonesia sebaiknya selalu dalam proses pengembangan, penekanannya adalah perkembangan individu, masyarakat, dan kebudayaan. Pendidikan harus siap memperbarui metode, kebijaksanaannya berhubungan dengan perkembangan sains dan teknologi, serta perubahan lingkungan.


BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah mencerdaskan potensi-potensi spiritual, intelektual, dan emosional setiap individu yang pada gilirannya berpengaruh terhadap masyarakat luas. Dan tujuan pendidikan  itu bersifat dinamis, yaitu setiap zaman tujuannya bisa berubah-ubah sesuai kebutuhan pada zaman tersebut. Selain itu tujuan pendidikan  juga dipengaruhi oleh kebudayaan, sehingga tujuan pendidikan akan berbeda-beda sesuai dengan kebudayaan daerah setempat.
Tujuan pendidikan di Indonesia adalah mengembangkan potensi peserta didik, hal ini berkaitan dengan filsafat pendidikan idealisme yang berusaha mengembangkan bakat atau kemampuan dasar dalam tujuan pendidikannya. Potensi peserta didik dalam tujuan pendidikan Indonesia harus membentuk manusia yang cakap, kreatif dan mandiri. Hal ini pula berkaitan dengan filsafat pendidikan progresivisme yang menekankan pemberian keterampilan dan alat-alat yang bermanfaat untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

B.  Saran
       Tujuan pendidikan nasional dipandang perlu untuk diumuskan kembali, sehingga memuat secara implisit filosofi pendidikan yang mampu membimbing, menuntun, memimpin. Filosofi pendidikan yang seperti ini lebih mengutamakan proses pendidikan yang tidak terjebak pada banyaknya materi yang dipaksaka kepada peserta didik dan harus dikuasai. Proses pendidikan seperti ini  lebih merupakan aktivitas hidup untuk menyertai, mengantar, mendampingi, membimbing, memampukan peserta didik sehingga tumbuh berkembang sampai pada tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
       Di sini atmosfer pendidikan mendapat tekanan dan peserta didik diberi keleluasaan untuk mengeksplorasi diri dan dunianya sehingga berkembang kreativitas, ide, dan keterampilan diri sebagai bagian dari masyarakatnya. Minat dan bakat peserta didik diperlakukan sebagai sentra dan hal yang amat berharga. Peran pendidik lebih sebagai narasumber, pendorong, pemberi motivasi, dan fasilitator bagi peserta didik. Filosofi pendidikan yang demikian ini belum terakomodasi oleh Tujuan Pendidikan Nasional dalam RUU Sisdiknas, padahal filosofi pendidikan seperti ini akan mengantarkan pada tumbuhnya kepercayaan diri, kemandirian, kedewasaan dan kecerdasan peserta didik.

      




DAFTAR PUSTAKA

Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta.
Suhartono, Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Meedia.
Sukardjo, M. dan Ukim Komarudin. 2009. Lamdasan Pendidikan (Konsep dan Aplikasinya). Jakarta: Rajawali Pers.
Suparlan, Y.B. 1984. Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Andi offset.
Gandhi HW, Teguh Wangsa. 2011. Filsafat Pendidikan (Mazhab-mazhab Filsafat Pendidikan). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Purwanto, M. Ngalim. 2004. Ilmu Pendidikan (Teoritis dan Praktis). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

















MORAL DAN AGAMA DALAM MANAGEMENT PENDIDIKAN ISLAM



A. Pendahuluan
Secara faktual, Management Pendidikan Islam yang secara umum dapat diartikan sebagai berikut; kata Management yang berasal dari bahasa inggris to manage yang berarti mengatur, merencanakan dan mengelola. Dan Pendidikan adalah suatu bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa secara sadar baik itu secara jasmani ataupun rohani. Sedangkan Islam adalah agama yang paling diridhoi Allah. Jadi dapat disimpulkan bahwa Management Pendidikan Islam adalah suatu aturan atau perencanaan yang berkaitan dengan pendidikan yang memiliki nilai-nilai agama islam.
            Dan dalam Management Pendidikan Islam terdapat beberapa nilai yang terkandung di dalamnya, yakni salah satunya adalah moral, nilai dan agama. Dimana moral sangat berperan penting dalam Management Pendidikan Islam, karena moral merupakan pondasi awal dalam Management Pendidikan Islam, dan nilai juga termasuk di dalamnya karena nilai merupakan suatu acuan tingkah laku manusia.
            Dimana dalam Management Pendidikan Islam pula terdapat beberapa fungsi yaitu perencanaan, organisasi, koordinasi, komunikasi, pengawasan, pembiayaan dan evaluasi.

B. Pengertian Nilai dan Indikatornya
1.   Pengertian Nilai
Nilai artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.[1] Maksudnya kualitas yang memang membangkitkan respon penghargaan.[2] Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat.[3]
“Menurut Sidi Gazalba yang dikutip Chabib Thoha mengartikan nilai sebagai berikut: Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki.[4]

Sedangkan menurut Chabib Thoha nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subyek yang memberi arti (manusia yang meyakini).[5] Jadi nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah lakunya.
2. Indikator Nilai
              Dewasa ini semua lembaga pendidikan berorientasi pada mutu. Lembaga pendidikan dikatakan ‘bermutu’ jika input, proses dan hasilnya dapat memenuhi persyaratan yang dituntut oleh pengguna jasa pendidikan. Bila performance-nya dapat melebihi persyaratan yang dituntut oleh stakeholder (user) maka dikatakan unggul. Lantaran tuntutan persayaratan yang dikehendaki para pengguna jasa terus berubah dan berkembang kualitasnya, maka pengertian mutu juga bersifat dinamis, terus berkembang dan terus berada dalam persaingan yang terus menerus.
              Sehubungan dengan hal tersebut, keberhasilan dalam implementasi manajemen peningkatan mutu dalam lembaga pendidikan Islam setidaknya bisa dilihat dari tiga indikator yaitu efisiensi, efektifitas, dan produktivitas. Tiga indikator tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya, walaupun pada tataran praktik masing-masing bisa berdiri sendiri.
Untuk bisa dideteksi sejak dini sejauh mana keberhasilan pelaksanaan manajemen peningkatan mutu pendidikan Islam, maka ketiga indikator (efisiensi, efektifitas, dan produktivitas) dalam manajemen peningkatan mutu harus sejak awal ditetapkan. Sehingga kekurangan atau kelemahan yang muncul dapat diperbaiki dan kelebihannya dapat dipertahankan.


a)      Efisiensi
Efisiensi menurut Dharma Mulyasa mengacu pada ukuran penggunaan daya yang langka oleh organisasi . Efisiensi juga ditekankan pada perbandingan antara input/sumber daya dengan out put. Sehingga suatu kegiatan dikatakan efisien bila tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan atau pemakaian sumber daya yang minimal . Efisiensi dengan demikian merupakan perbandingan antara input dengan out put, tenaga dengan hasil, perbelanjaan dan masukan, serta biaya dengan kesenangan yang dihasilkan.
Dalam dunia pendidikan dapat diartikan sebagai kegairahan atau motivasi belajar yang tinggi, semangat kerja yang besar, kepercayaan berbagai pihak, dan pembiayaan, waktu, dan tenaga sekecil mungkin tetapi hasil yang didapatkan maksimal. Dengan demikian, efisiensi merupakan faktor yang sangat urgen dalam rangka manajemen peningkatan mutu pendidikan Islam. Hal ini karena lembaga pendidikan Islam secara umum dihadapkan pada masalah kelangkaan sumber dana, yang secara langsung berdampak terhadap kegiatan manajemen.
            Di atas telah dikemukakan bahwa efisiensi merupakan perbandingan antara input dan output. Dalam pendidikan, input adalah sumber daya yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam rangka mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Sumber daya tersebut terkait dengan nilai, serta faktor manusia dan ekonomi. Nilai menggariskan tujuan serta isi pendidikan, faktor manusia merupakan pelaksana pendidikan, dan faktor ekonomi menyangkut biaya dan fasilitas penyelenggaraan. Secara operasional, masukan tersebut adalah peserta didik, guru, ruang kelas, buku teks, peralatan, kurikulum serta sarana pendidikan. Masukan ini bisa dinyatakan dalam bentuk biaya pendidikan per peserta didik setiap tahun. Sehingga untuk mengetahui tingkat efisiensi pengelolaan lembaga pendidikan, dapat dihitung dari banyaknya tahun yang dihabiskan peserta didik dalam siklus tertentu untuk menyelesaikan studinya. Efisiensi ini akan menurun jika ada peserta didik yang mengulang atau DO (Drop Out).
Selain dianalisis dari perbandingan komponen input dan output, efisiensi juga bisa ditinjau dari sisi proses pendidikan, dimana merupakan interaksi antara faktor manusiawi dan non manusiawi dalam rangka mencapai tujuan yang dirumuskan sesuai dengan rentang waktu yang telah ditentukan. Sehingga pendidikan dikatakan efisien jika proses atau kegiatan pengelolaan lembaga pendidikan dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.

b)      Efektifitas
Efektifitas merupakan sebuah fenomena yang mengandung banyak segi, sehingga sedikit sekali orang yang dapat memaksimalkan keefektivitasan sesuai dengan keefektifitasan itu sendiri . Atau dapat dikatakan bahwa efektivitas masih merupakan sebuah konsepsi yang bersifat elusive (sulit diraih) yang harus didefinisikan secara jelas. Sehingga efektivitas organisasi atau lembaga pendidikan memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang, bergantung pada kerangka acuan yang dipakai.
Bagi Etzioni, keefektifan merupakan derajat di mana sebuah organisasi mencapai tujuannya . Sedangkan menurut Sergiovani, keefektifan merupakan kesesuaian antara hasil yang dicapai oleh organisasi dengan tujuan yang telah dirumuskan.
            Kemudian Scheerens mengemukakan bahwa efektifitas sebagai konsep kausal secara esensial, di mana hubungan maksud hingga tujuan (means-to-end relationship) serupa dengan hubungan sebab-akibat (cause-effect relationship), terdapat tiga komponen utama yang harus diperhatikan dalam studi tentang efektivitas organisasi pendidikan, yaitu: (1) cakupan pengaruh, (2) kesempatan aksi yang digunakan untuk mencapai pengaruh tertentu (ditandai sebagai mode pendidikan), dan (3) fungsi-fungsi dan mekanisme yang mendasari yang menjelaskan mengapa tindakan tertentu mendorong ke arah pencapain-pengaruh.
Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa efektifitas organisasi merupakan kemampuan organisasi untuk merealisasikan berbagai tujuan dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan dan mampu bertahan agar tetap eksis/hidup. Sehingga organisasi dikatakan efektif jika organisasi tersebut mampu menciptakan suasana kerja dimana para pekerja tidak hanya melaksanakan tugas yang telah dibebankan kepadanya, tetapi juga membuat suasana supaya pekerja lebih bertanggung jawab, bertindak secara kreatif demi peningkatan efisiensi dalam mencapai tujuan.
Konsep efektifitas pendidikan mengacu pada kinerja unit organisasi, oleh sebab itu maksud dari efektifitas sesungguhnya pencapaian tujuan, maka asumsi kriteria yang digunakan harus mencerminkan sasaran akhir dari organisasi itu sendiri. Efektifitas pendidikan dalam setiap tahapannya berproses pada das sollen dan dessein dengan indikator-indikator sebagai berikut:
a. Indikator input, meliputi karakteristik guru, fasilitas, perlengkapan dan materi pendidikan serta kapasitas manajemen.
b. Indikator proses, meliputi prilaku administratif, alokasi waktu guru, dan alokasi waktu peserta didik.
c. Indikator out put, berupa hasil-hasil dalam bentuk perolehan peserta didik meliputi hasil prestasi belajar, sikap, keadilan dan persamaan.
d. Indikator out come, meliputi jumlah lulusan ketingkat pendidikan berikutnya, prestasi belajar di sekolah yang lebih tinggi dan pekerjaan serta pendapatan.
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa efektifitas merupakan satu dimensi tujuan manajemen yang berfokus pada hasil, sasaran, dan target yang diharapkan. Lembaga pendidikan yang efektif adalah lembaga pendidikan yang menetapkan keberhasilan pada input, proses, output, dan outcome yang ditandai dengan berkualitasnya indikator-indikator tersebut. Sehingga dengan demikian, efektifitas lembaga pendidikan bukan sekedar pencapaian sasaran dan terpenuhinya berbagai kebutuhan untuk mencapai sasaran, tetapi berkaitan erat dengan syaratnya indikator tersebut dengan mutu, atau dengan kata lain ditetapkannya pengembangan mutu lembaga pendidikan.
Mulyasa kemudian memberikan barometer terhadap efektifitas sebuah lembaga pendidikan. Menurutnya barometer efektifitas dapat dilihat dari kualitas program, ketepatan penyusunan, kepuasan, keluwesan, dan adaptasi, semangat kerja, motivasi, ketercapaian tujuan, ketepatan waktu, serta ketepatan pendayagunaan sarana, prasarana, dan sumber belajar dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan.
Dari uraian di atas nampak jelas bahwa kajian tentang efektifitas pendidikan harus dilihat secara sistemik mulai dari input sampai dengan outcome, dengan indikator yang tidak hanya bersifat kuantitatif, tetapi juga bersifat kualitatif. Karena sudah lama kita mendambakan sebuah pendidikan yang berkualitas.
c)      Produktivitas
Produktivitas merupakan perbandingan terbaik antara hasil yang diperoleh (input) dengan jumlah sumber yang dipergunakan (output). Produktivitas dapat dinyatakan dengan kuantitas maupun kualitas. Kuantitas output merupakan jumlah lulusan, sedangkan input merupakan jumlah tenaga kerja sekolah, dan sumber daya lainnya. Sedangkan produktivitas dalam ukuran kualitas tidak dapat diukur dengan uang, ia digambarkan dari ketetapan penggunaan metode dan alat yang tersedia sehingga volume dan beban kerja dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang tersedia serta mendapatkan respon positif bahkan pujian dari orang lain atas hasil kerjanya.
Ada pula yang menekankan produktivitas pada sisi pemberian perhatian dan kepuasan kepada pelanggan, sehingga semakin banyak dan semakin memuaskan pelayanan yang diberikan sebuah corporate atau lembaga terhadap customer, maka semakin produktif lembaga tersebut.
Produktivitas dalam dunia pendidikan berkaitan erat dengan keseluruhan proses penataan dan penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Dalam konteks produktivitas pendidikan, sumber-sumber pendidikan dipadukan dengan cara-cara yang berbeda. Perpaduan tersebut sama halnya dengan upaya memproduksi pakaian yang menggunakan teknik-teknik yang berbeda dalam memadukan buruh, modal, dan pengetahuan. Untuk mengusai teknik-teknik tersebut diperlukan proses belajar.
Seiring dengan bertambahnya waktu, semakin besar pula modal untuk pendidikan. Sekolah pun semakin berkembang seiring dengan besarnya tuntutan pendidikan yang harus dikembangkan. Perubahan dalam intensitas tenaga kependidikan pun kemudian harus dilakukan dan disesuaikan dengan kebutuhan. Sehingga perlu diaplikasikan model keterampilan mengajar yang bervariasi.
Secara sederhana produktivitas pendidikan dapat diukur dengan melihat indeks pengeluaran riil pendidikan seperti dalam National Income Blue Book, dengan cara menjumlahkan pengeluaran dari banyaknya peserta didik yang dididik. Namun cara ini merupakan pengukuran cara kasar terhadap produk riil kependidikan. Cara ini pun tidak menceritakan sama sekali tentang kualitas lulusan lembaga pendidikan, juga derajat efisiensi berbagai sumber yang digunakan. Sehingga pengukuran output pendidikan dengan cara yang rasional penting untuk dipertimbangkan, namun juga perlu disadari bahwa pengukuran ini tidak dapat memberi indikasi langsung mengenai kuantitas pengajaran yang diterima setiap peserta didik.
Thomas mengemukakan bahwa produktifitas pendidikan dapat ditinjau dari 3 dimensi sebagai berikut :
1. Meninjau produktifitas sekolah dari segi keluaran administratif, yaitu seberapa  besar dan seberapa baik layanan yang dapat diberikan dalam proses pendidikan, baik oleh guru kepala sekolah maupun pihak lain yang berkepentingan.
2. Meninjau produktifitas dari segi keluaran perubahan prilaku, dengan melihat nilai-nilai yang diperoleh peserta didik sebagai suatu gambaran prestasi akademik yang telah dicapainya dalam periode belajar tertentu disekolah.
3. Melihat produktifitas sekolah dari keluaran ekonomis yang berkaitan dengan pembiayaan layanan pendidikan di sekolah. Hal ini mencakup “harga” layanan yang diberikan (pengorbanan atau cost) dan “perolehan” yang ditimbulkan oleh layanan itu atau disebut “peningkatan nilai baik“.
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa pengukuran produktivitas pendidikan erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, yang sangat bergantung pada akurasi kerangka yang digunakan dalam analisis dan kualitas data. Dalam konteks ini agaknya tidak perlu diperdebatkan bagaimana pengukuran pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi, sebab umumnya riset mengenai ini membuktikan bahwa peranan pendidikan tetap substansial dalam pertumbuhan ekonomi. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengetahui produktivitas pendidikan dalam konteks peningkatan mutu pendidikan, antara lain dapat dilakukan dengan analisis efektifitas biaya, analisis biaya minimal, dan analisis manfaat .[6]

C. Pengertian Moral Islam
            Manusia adalah makhluk yang harus bermoral, sebabnya ialah karena moral merupakan tuntutan kodrat manusia. Prof. Dr. N. Dyarkara SJ mengatakan: “Kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia. Tiap-tiap perbuatan yang tidak susila merupakan perkosaan terhadap kodrat.”[7]
            Allah menyatakan bahwa manusia diciptakan-Nya dalam sebaik-baik kejadian (QS. At-Tiin: 4);

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”(QS. At-Tiin : 4)
Kemudian di ayat lain dinyatakan-Nya pula bahwa Ia telah memuliakan manusia;
  
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”(QS. Al-Isra’ : 70)
Dari kedua ayat tersebut di atas, hal ini memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang bermoral.

            Kemudian adapun pengertian moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan.[8] Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.[9]
            Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.[10] Selanjutnya pengertian moral dijumpai pula dalam The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English. Dalam buku ini dikemukakan beberapa pengertian moral sebagai berikut;
1.      Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.
2.      Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah.
3.      Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang tersebut bermoral, maka yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut tingkah lakunya baik.

D. Hubungan Antara Nilai dan Moral dalam Management Pendidikan Islam
Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari akses negative globalisasi. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam mampu berperan sebagai pembebas dari himpitan kebodohan dan keterbelakangan.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk manusia/pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusai baik yang berbentuk jasmani maupun rohani. Menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian pendidikan Islam itu berupaya mengembangkan individu sepenuhnya, Maka sudah sewajarnya untuk dapat memahami hakikat pendidikan islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam, yaitu manusia itu merupakan makhluk yang bermoral. Sehingga moral itu pun harus dibenahi dalam diri manusia muslim secara utuh.
Untuk terciptanya fungsi tersebut yang terintegrasi dalam diri pribadi muslim, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai, diantaranya yaitu pendidikan moral yang tertanam dalam diri seorang muslim. Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pada tujuan tersebut.

E. Kesimpulan
            Pendidikan Islam sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan nilai moral dan ajaran keagamaan. Pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk pribadi muslim sepenuhnya, yang mengembangkan seluruh potensi manusia baik jasmaniah, rohaniah, dan menumbuh suburkan hubungan setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam dengan acara mengembangkan aspek structural, cultural dan berupaya meningkatkan sumber daya manusia guna mencapai taraf hidup yang layak.
Dari uraian diatas nampak jelas bahwa efektifitas, efisiensi, serta produktivitas manajemen pendidikan harus ditetapkan sejak awal agar dampaknya dapat dideteksi sejak dini terhadap pencapaian tujuan pendidikan islam tersebut. Selain itu, efektifitas, efisiensi, dan produkktivitas menjadi prasarat utama untuk memperjelas orientasi dalam pengelolaan suatu lembaga pendidikan Islam. Sehingga lembaga pendidikan islam tampil sebagai lembaga yang memiliki daya tarik dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat pada era globalisasi ini.


[1]. Poerwadarminta, kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 677.
[2]. Titus M.S, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 122.
[3]. Muhaimin, Pemikiran pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 110.
[4]. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 61.
[5]. Ibid.
[7]. Syahminan Zaini, Mengapa Manusia Harus Beragama, (Jakarta: Kalam Mulia, 1986), h.56.
[8]. Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), h. 8
[9]. Poerwadarminta, op.cit., h. 654.
[10]. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 92.