Selasa, 05 Februari 2013

MORAL DAN AGAMA DALAM MANAGEMENT PENDIDIKAN ISLAM



A. Pendahuluan
Secara faktual, Management Pendidikan Islam yang secara umum dapat diartikan sebagai berikut; kata Management yang berasal dari bahasa inggris to manage yang berarti mengatur, merencanakan dan mengelola. Dan Pendidikan adalah suatu bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa secara sadar baik itu secara jasmani ataupun rohani. Sedangkan Islam adalah agama yang paling diridhoi Allah. Jadi dapat disimpulkan bahwa Management Pendidikan Islam adalah suatu aturan atau perencanaan yang berkaitan dengan pendidikan yang memiliki nilai-nilai agama islam.
            Dan dalam Management Pendidikan Islam terdapat beberapa nilai yang terkandung di dalamnya, yakni salah satunya adalah moral, nilai dan agama. Dimana moral sangat berperan penting dalam Management Pendidikan Islam, karena moral merupakan pondasi awal dalam Management Pendidikan Islam, dan nilai juga termasuk di dalamnya karena nilai merupakan suatu acuan tingkah laku manusia.
            Dimana dalam Management Pendidikan Islam pula terdapat beberapa fungsi yaitu perencanaan, organisasi, koordinasi, komunikasi, pengawasan, pembiayaan dan evaluasi.

B. Pengertian Nilai dan Indikatornya
1.   Pengertian Nilai
Nilai artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.[1] Maksudnya kualitas yang memang membangkitkan respon penghargaan.[2] Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat.[3]
“Menurut Sidi Gazalba yang dikutip Chabib Thoha mengartikan nilai sebagai berikut: Nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki.[4]

Sedangkan menurut Chabib Thoha nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subyek yang memberi arti (manusia yang meyakini).[5] Jadi nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah lakunya.
2. Indikator Nilai
              Dewasa ini semua lembaga pendidikan berorientasi pada mutu. Lembaga pendidikan dikatakan ‘bermutu’ jika input, proses dan hasilnya dapat memenuhi persyaratan yang dituntut oleh pengguna jasa pendidikan. Bila performance-nya dapat melebihi persyaratan yang dituntut oleh stakeholder (user) maka dikatakan unggul. Lantaran tuntutan persayaratan yang dikehendaki para pengguna jasa terus berubah dan berkembang kualitasnya, maka pengertian mutu juga bersifat dinamis, terus berkembang dan terus berada dalam persaingan yang terus menerus.
              Sehubungan dengan hal tersebut, keberhasilan dalam implementasi manajemen peningkatan mutu dalam lembaga pendidikan Islam setidaknya bisa dilihat dari tiga indikator yaitu efisiensi, efektifitas, dan produktivitas. Tiga indikator tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya, walaupun pada tataran praktik masing-masing bisa berdiri sendiri.
Untuk bisa dideteksi sejak dini sejauh mana keberhasilan pelaksanaan manajemen peningkatan mutu pendidikan Islam, maka ketiga indikator (efisiensi, efektifitas, dan produktivitas) dalam manajemen peningkatan mutu harus sejak awal ditetapkan. Sehingga kekurangan atau kelemahan yang muncul dapat diperbaiki dan kelebihannya dapat dipertahankan.


a)      Efisiensi
Efisiensi menurut Dharma Mulyasa mengacu pada ukuran penggunaan daya yang langka oleh organisasi . Efisiensi juga ditekankan pada perbandingan antara input/sumber daya dengan out put. Sehingga suatu kegiatan dikatakan efisien bila tujuan dapat dicapai secara optimal dengan penggunaan atau pemakaian sumber daya yang minimal . Efisiensi dengan demikian merupakan perbandingan antara input dengan out put, tenaga dengan hasil, perbelanjaan dan masukan, serta biaya dengan kesenangan yang dihasilkan.
Dalam dunia pendidikan dapat diartikan sebagai kegairahan atau motivasi belajar yang tinggi, semangat kerja yang besar, kepercayaan berbagai pihak, dan pembiayaan, waktu, dan tenaga sekecil mungkin tetapi hasil yang didapatkan maksimal. Dengan demikian, efisiensi merupakan faktor yang sangat urgen dalam rangka manajemen peningkatan mutu pendidikan Islam. Hal ini karena lembaga pendidikan Islam secara umum dihadapkan pada masalah kelangkaan sumber dana, yang secara langsung berdampak terhadap kegiatan manajemen.
            Di atas telah dikemukakan bahwa efisiensi merupakan perbandingan antara input dan output. Dalam pendidikan, input adalah sumber daya yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran dalam rangka mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Sumber daya tersebut terkait dengan nilai, serta faktor manusia dan ekonomi. Nilai menggariskan tujuan serta isi pendidikan, faktor manusia merupakan pelaksana pendidikan, dan faktor ekonomi menyangkut biaya dan fasilitas penyelenggaraan. Secara operasional, masukan tersebut adalah peserta didik, guru, ruang kelas, buku teks, peralatan, kurikulum serta sarana pendidikan. Masukan ini bisa dinyatakan dalam bentuk biaya pendidikan per peserta didik setiap tahun. Sehingga untuk mengetahui tingkat efisiensi pengelolaan lembaga pendidikan, dapat dihitung dari banyaknya tahun yang dihabiskan peserta didik dalam siklus tertentu untuk menyelesaikan studinya. Efisiensi ini akan menurun jika ada peserta didik yang mengulang atau DO (Drop Out).
Selain dianalisis dari perbandingan komponen input dan output, efisiensi juga bisa ditinjau dari sisi proses pendidikan, dimana merupakan interaksi antara faktor manusiawi dan non manusiawi dalam rangka mencapai tujuan yang dirumuskan sesuai dengan rentang waktu yang telah ditentukan. Sehingga pendidikan dikatakan efisien jika proses atau kegiatan pengelolaan lembaga pendidikan dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.

b)      Efektifitas
Efektifitas merupakan sebuah fenomena yang mengandung banyak segi, sehingga sedikit sekali orang yang dapat memaksimalkan keefektivitasan sesuai dengan keefektifitasan itu sendiri . Atau dapat dikatakan bahwa efektivitas masih merupakan sebuah konsepsi yang bersifat elusive (sulit diraih) yang harus didefinisikan secara jelas. Sehingga efektivitas organisasi atau lembaga pendidikan memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang, bergantung pada kerangka acuan yang dipakai.
Bagi Etzioni, keefektifan merupakan derajat di mana sebuah organisasi mencapai tujuannya . Sedangkan menurut Sergiovani, keefektifan merupakan kesesuaian antara hasil yang dicapai oleh organisasi dengan tujuan yang telah dirumuskan.
            Kemudian Scheerens mengemukakan bahwa efektifitas sebagai konsep kausal secara esensial, di mana hubungan maksud hingga tujuan (means-to-end relationship) serupa dengan hubungan sebab-akibat (cause-effect relationship), terdapat tiga komponen utama yang harus diperhatikan dalam studi tentang efektivitas organisasi pendidikan, yaitu: (1) cakupan pengaruh, (2) kesempatan aksi yang digunakan untuk mencapai pengaruh tertentu (ditandai sebagai mode pendidikan), dan (3) fungsi-fungsi dan mekanisme yang mendasari yang menjelaskan mengapa tindakan tertentu mendorong ke arah pencapain-pengaruh.
Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa efektifitas organisasi merupakan kemampuan organisasi untuk merealisasikan berbagai tujuan dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan dan mampu bertahan agar tetap eksis/hidup. Sehingga organisasi dikatakan efektif jika organisasi tersebut mampu menciptakan suasana kerja dimana para pekerja tidak hanya melaksanakan tugas yang telah dibebankan kepadanya, tetapi juga membuat suasana supaya pekerja lebih bertanggung jawab, bertindak secara kreatif demi peningkatan efisiensi dalam mencapai tujuan.
Konsep efektifitas pendidikan mengacu pada kinerja unit organisasi, oleh sebab itu maksud dari efektifitas sesungguhnya pencapaian tujuan, maka asumsi kriteria yang digunakan harus mencerminkan sasaran akhir dari organisasi itu sendiri. Efektifitas pendidikan dalam setiap tahapannya berproses pada das sollen dan dessein dengan indikator-indikator sebagai berikut:
a. Indikator input, meliputi karakteristik guru, fasilitas, perlengkapan dan materi pendidikan serta kapasitas manajemen.
b. Indikator proses, meliputi prilaku administratif, alokasi waktu guru, dan alokasi waktu peserta didik.
c. Indikator out put, berupa hasil-hasil dalam bentuk perolehan peserta didik meliputi hasil prestasi belajar, sikap, keadilan dan persamaan.
d. Indikator out come, meliputi jumlah lulusan ketingkat pendidikan berikutnya, prestasi belajar di sekolah yang lebih tinggi dan pekerjaan serta pendapatan.
Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa efektifitas merupakan satu dimensi tujuan manajemen yang berfokus pada hasil, sasaran, dan target yang diharapkan. Lembaga pendidikan yang efektif adalah lembaga pendidikan yang menetapkan keberhasilan pada input, proses, output, dan outcome yang ditandai dengan berkualitasnya indikator-indikator tersebut. Sehingga dengan demikian, efektifitas lembaga pendidikan bukan sekedar pencapaian sasaran dan terpenuhinya berbagai kebutuhan untuk mencapai sasaran, tetapi berkaitan erat dengan syaratnya indikator tersebut dengan mutu, atau dengan kata lain ditetapkannya pengembangan mutu lembaga pendidikan.
Mulyasa kemudian memberikan barometer terhadap efektifitas sebuah lembaga pendidikan. Menurutnya barometer efektifitas dapat dilihat dari kualitas program, ketepatan penyusunan, kepuasan, keluwesan, dan adaptasi, semangat kerja, motivasi, ketercapaian tujuan, ketepatan waktu, serta ketepatan pendayagunaan sarana, prasarana, dan sumber belajar dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan.
Dari uraian di atas nampak jelas bahwa kajian tentang efektifitas pendidikan harus dilihat secara sistemik mulai dari input sampai dengan outcome, dengan indikator yang tidak hanya bersifat kuantitatif, tetapi juga bersifat kualitatif. Karena sudah lama kita mendambakan sebuah pendidikan yang berkualitas.
c)      Produktivitas
Produktivitas merupakan perbandingan terbaik antara hasil yang diperoleh (input) dengan jumlah sumber yang dipergunakan (output). Produktivitas dapat dinyatakan dengan kuantitas maupun kualitas. Kuantitas output merupakan jumlah lulusan, sedangkan input merupakan jumlah tenaga kerja sekolah, dan sumber daya lainnya. Sedangkan produktivitas dalam ukuran kualitas tidak dapat diukur dengan uang, ia digambarkan dari ketetapan penggunaan metode dan alat yang tersedia sehingga volume dan beban kerja dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang tersedia serta mendapatkan respon positif bahkan pujian dari orang lain atas hasil kerjanya.
Ada pula yang menekankan produktivitas pada sisi pemberian perhatian dan kepuasan kepada pelanggan, sehingga semakin banyak dan semakin memuaskan pelayanan yang diberikan sebuah corporate atau lembaga terhadap customer, maka semakin produktif lembaga tersebut.
Produktivitas dalam dunia pendidikan berkaitan erat dengan keseluruhan proses penataan dan penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Dalam konteks produktivitas pendidikan, sumber-sumber pendidikan dipadukan dengan cara-cara yang berbeda. Perpaduan tersebut sama halnya dengan upaya memproduksi pakaian yang menggunakan teknik-teknik yang berbeda dalam memadukan buruh, modal, dan pengetahuan. Untuk mengusai teknik-teknik tersebut diperlukan proses belajar.
Seiring dengan bertambahnya waktu, semakin besar pula modal untuk pendidikan. Sekolah pun semakin berkembang seiring dengan besarnya tuntutan pendidikan yang harus dikembangkan. Perubahan dalam intensitas tenaga kependidikan pun kemudian harus dilakukan dan disesuaikan dengan kebutuhan. Sehingga perlu diaplikasikan model keterampilan mengajar yang bervariasi.
Secara sederhana produktivitas pendidikan dapat diukur dengan melihat indeks pengeluaran riil pendidikan seperti dalam National Income Blue Book, dengan cara menjumlahkan pengeluaran dari banyaknya peserta didik yang dididik. Namun cara ini merupakan pengukuran cara kasar terhadap produk riil kependidikan. Cara ini pun tidak menceritakan sama sekali tentang kualitas lulusan lembaga pendidikan, juga derajat efisiensi berbagai sumber yang digunakan. Sehingga pengukuran output pendidikan dengan cara yang rasional penting untuk dipertimbangkan, namun juga perlu disadari bahwa pengukuran ini tidak dapat memberi indikasi langsung mengenai kuantitas pengajaran yang diterima setiap peserta didik.
Thomas mengemukakan bahwa produktifitas pendidikan dapat ditinjau dari 3 dimensi sebagai berikut :
1. Meninjau produktifitas sekolah dari segi keluaran administratif, yaitu seberapa  besar dan seberapa baik layanan yang dapat diberikan dalam proses pendidikan, baik oleh guru kepala sekolah maupun pihak lain yang berkepentingan.
2. Meninjau produktifitas dari segi keluaran perubahan prilaku, dengan melihat nilai-nilai yang diperoleh peserta didik sebagai suatu gambaran prestasi akademik yang telah dicapainya dalam periode belajar tertentu disekolah.
3. Melihat produktifitas sekolah dari keluaran ekonomis yang berkaitan dengan pembiayaan layanan pendidikan di sekolah. Hal ini mencakup “harga” layanan yang diberikan (pengorbanan atau cost) dan “perolehan” yang ditimbulkan oleh layanan itu atau disebut “peningkatan nilai baik“.
Dari uraian di atas, nampak jelas bahwa pengukuran produktivitas pendidikan erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi, yang sangat bergantung pada akurasi kerangka yang digunakan dalam analisis dan kualitas data. Dalam konteks ini agaknya tidak perlu diperdebatkan bagaimana pengukuran pendidikan dalam pertumbuhan ekonomi, sebab umumnya riset mengenai ini membuktikan bahwa peranan pendidikan tetap substansial dalam pertumbuhan ekonomi. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mengetahui produktivitas pendidikan dalam konteks peningkatan mutu pendidikan, antara lain dapat dilakukan dengan analisis efektifitas biaya, analisis biaya minimal, dan analisis manfaat .[6]

C. Pengertian Moral Islam
            Manusia adalah makhluk yang harus bermoral, sebabnya ialah karena moral merupakan tuntutan kodrat manusia. Prof. Dr. N. Dyarkara SJ mengatakan: “Kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia. Tiap-tiap perbuatan yang tidak susila merupakan perkosaan terhadap kodrat.”[7]
            Allah menyatakan bahwa manusia diciptakan-Nya dalam sebaik-baik kejadian (QS. At-Tiin: 4);

Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”(QS. At-Tiin : 4)
Kemudian di ayat lain dinyatakan-Nya pula bahwa Ia telah memuliakan manusia;
  
Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”(QS. Al-Isra’ : 70)
Dari kedua ayat tersebut di atas, hal ini memberikan pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang bermoral.

            Kemudian adapun pengertian moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan.[8] Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.[9]
            Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk.[10] Selanjutnya pengertian moral dijumpai pula dalam The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English. Dalam buku ini dikemukakan beberapa pengertian moral sebagai berikut;
1.      Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.
2.      Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah.
3.      Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang tersebut bermoral, maka yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut tingkah lakunya baik.

D. Hubungan Antara Nilai dan Moral dalam Management Pendidikan Islam
Pendidikan Islam bukan sekedar proses penanaman nilai moral untuk membentengi diri dari akses negative globalisasi. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam mampu berperan sebagai pembebas dari himpitan kebodohan dan keterbelakangan.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk manusia/pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusai baik yang berbentuk jasmani maupun rohani. Menumbuh suburkan hubungan harmonis setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam semesta. Dengan demikian pendidikan Islam itu berupaya mengembangkan individu sepenuhnya, Maka sudah sewajarnya untuk dapat memahami hakikat pendidikan islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam, yaitu manusia itu merupakan makhluk yang bermoral. Sehingga moral itu pun harus dibenahi dalam diri manusia muslim secara utuh.
Untuk terciptanya fungsi tersebut yang terintegrasi dalam diri pribadi muslim, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pribadi muslim kepada tujuan akhir pendidikan yang ingin dicapai, diantaranya yaitu pendidikan moral yang tertanam dalam diri seorang muslim. Agar peserta didik dapat mencapai tujuan akhir pendidikan Islam, maka diperlukan konsep pendidikan yang komprehensif yang dapat mengantarkan pada tujuan tersebut.

E. Kesimpulan
            Pendidikan Islam sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan nilai moral dan ajaran keagamaan. Pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk pribadi muslim sepenuhnya, yang mengembangkan seluruh potensi manusia baik jasmaniah, rohaniah, dan menumbuh suburkan hubungan setiap pribadi dengan Allah, manusia dan alam dengan acara mengembangkan aspek structural, cultural dan berupaya meningkatkan sumber daya manusia guna mencapai taraf hidup yang layak.
Dari uraian diatas nampak jelas bahwa efektifitas, efisiensi, serta produktivitas manajemen pendidikan harus ditetapkan sejak awal agar dampaknya dapat dideteksi sejak dini terhadap pencapaian tujuan pendidikan islam tersebut. Selain itu, efektifitas, efisiensi, dan produkktivitas menjadi prasarat utama untuk memperjelas orientasi dalam pengelolaan suatu lembaga pendidikan Islam. Sehingga lembaga pendidikan islam tampil sebagai lembaga yang memiliki daya tarik dan mampu menjawab kebutuhan masyarakat pada era globalisasi ini.


[1]. Poerwadarminta, kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 677.
[2]. Titus M.S, Persoalan-Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 122.
[3]. Muhaimin, Pemikiran pendidikan Islam, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 110.
[4]. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 61.
[5]. Ibid.
[7]. Syahminan Zaini, Mengapa Manusia Harus Beragama, (Jakarta: Kalam Mulia, 1986), h.56.
[8]. Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), h. 8
[9]. Poerwadarminta, op.cit., h. 654.
[10]. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 92.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar