Imam Al-Ghazali (Kritik Terhadap Para Filosof)
1. PENDAHULUAN
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga
kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki
pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke penjuru dunia Islam. Ironisnya
sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Bahkan, mungkin kebanyakan
kaum muslimin belum mengerti.
Pengaruh filsafat Imam Ghozali begitu kentalnya. Beliau menyusun
buku yang berisi kritikan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut
al-Falasifah yang membongkar kejelekan filsafat[1].
Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato,
dan Aristoteles, bahkan juga filsafat Ibnu Sina dan al-Farabi tidak sesuai
dengan yang dicarinya, bahkan kacau (tahafut). Menurut Imam Ghozali
dalam filsafat ada yang bertentangan dengan ajaran agama dan mengkafirkan sebagian
pemikiran mereka.Kritikan Imam al-Ghazali dipaparkan secara rinci dalam kitab Tahafut
al-Falasifah (kekacauan para filosof). Berikut adalah sebagian sisi
kehidupannya dalam dunia filsafat.
2. BIOGRAFI
SINGKAT IMAM GHOZALI
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin
Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali[2].
Al-Ghazali lahir di Thus bagian dari kota Kurasan, Irak pada 450 H (1056 M). Diperkirakan
Al-Ghozali, hidup dalam suasana kesederhanaan sufi tersebut sampai usia 15
tahun (450-465 H).
Dalam perkembangannya Imam
Al-Ghazali lebih dikenal sebagai ulama thasawuf dan aqidah. Oleh sebab itu
sumbangannya terhadap bidang falsafah dan ilmu pengetahuan lain tidak boleh
dinafikan. Al-Ghazali merupakan seorang ahli Sufi yang bergelar "Hujjatul Islam".
Al-Ghazali telah dilantik sebagai Mahaguru Universitas Baghdad pada tahun 488 H
(1095 M). Al-Ghozali mengunjungi kota
kelahirannya, Thus disini pun ia tetap berkhalwat. Keadaan berlangsung selama
10 tahun. Pada periode itulah ia menulis karyanya yang terbesar ihya ‘Ulumudin. Dalam kitab tersebut, Imam Al
-Ghazali mengatakan bahwa ilmu agamalah yang wajib dipelajari secara pribadi
oleh para muslimin. Sementara ilmu dunia, hanyalah fardhu kifayah. Beliau juga
mengarang kitab Tahafut al-Falasifah yang menjelaskan tentang
kerancuan-kerancuan dalam dunia filsafat. Imam Ghozali yang bergelar Hujjatul Islam
meninggal dikota kelahirannya Thus pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 505 H/111 M.
3. PEMIKIRAN IMAM GHOZALI
Al-Ghozali, sebagaimana halnya para
penganut aliran al-Asy’ariyah menyelaraskan akal dengan naql. Ia berpendapat
bahwa akal harus digunakan sebagai
penopang, karena ia bisa mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsikan
benda lain, yang jika lepas dari sumbat angan-angan dan khayalan maka ia bisa
mempersepsi benda-benda secara hakiki. Namun al-Ghozali menghentikan akal pada
batas-batas tertentu, dan hanya naql-lah yang bisa melewati batas-batas ini.
Mengenai problematika sifat-sifat (Allah), al-Ghozali memegang pendapat yang
dianut oleh al-Asy’ari, sehingga ia tidak menerima pendapat yang dikemukakan
oleh aliran Hasywiah[3]
maupun Mu’tazilah[4],
karena kedua aliran ini ekstrim. Yang paling baik adalah tengah-tengah[5].
Menurut al-Ghozali, Allah adalah
satu-satunya sebab bagi alam. Alam Ia ciptakan dengan kehendak dan
kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang ada (al-Maujudat).
Sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sebab-sebab alami hanyalah korelasi
waktu antara benda-benda. Nampak jelas bahwa al-Ghozali mengagumi pemecahan
masalah melihat Allah yang dikemukakan oleh al-Asy’ari, pemecahan ini ia
tingkatkan dengan cara menafsirkan melihat Allah itu sebagai suatu corak
pengetahuan.[6]
4. KRITIK AL-GHOZALI TERHADAP PARA FILOSOF
Kritik Al-Ghazali atas metafisika
sebenarnya meliputi kritiknya terhadap Islamic Aristotelianism (pemikirannya
filosof Muslim yang dipengaruhi oleh Aristoteles yang diformulasikan dengan
baik oleh Al-Farabi dan Ibn Sina) yang berkembang menjadi teologi rasional
berdasarkan metafisika Aristoteles[7].
Karena teologi ini bersifat rasional,
salah satu asumsi dasarnya adalah bahwa rasio manusia mampu menyelesaikan sebagian
besar dari persoalan-persoalan teologi. Asumsi inilah sesungguhnya yang ingin ditolak
oleh Al-Ghazali; dan penolakan ini, sebagaimana terjadi,
melibatkan pembuktian kesalahan asumsi-asumsi tersebut secara rasional. Jika ini
dapat diperlihatkan, kita tidak lagi dapat mempercayai akal pikiran manusia dalam
usaha ini; dan sebaliknya kita mesti menolak metafisika rasional dan menggunakan
bantuan Wahyu untuk pengetahuan semacam itu.[8]
Metafisika Rasional Emanatif
Al-Farabi dan Ibnu Sina, selaku
Muslim, tidak menolak bahwa Tuhan adalah pencipta abadi alam dan semesta, tetapi
mereka percaya bahwa aktivitas Tuhan hanya mencakup memunculkan dalam keadaan aktualitas
kemungkinan-kemungkinan yang sebetulnya inheren dalam materi pertama yang
dinyatakan sebagai abadi bersama Tuhan.
Inisesuai dengan pemahaman Aristotelian tentang perubahan, bukan sebagai
jalan pintas dari tidak ada menjadi ada , akan tetapi, sebagai proses melalui apa
yang disebut “wujud potensial” berkembangmelalui “bentuk” menuju “wujud aktual”. Oleh karena itu, Tuhan selaku pencipta abadi konstan
mengombinasikan materi dengan bentuk-bentuk baru; Dia tidak menciptakan alam semesta
muncul dari ketiadaan belaka pada saat tertentu pada masa lampau. Sebagai akibat
logisnya, mereka percaya pada keabadian waktu.[9]
Sebaliknya Al-Ghazali, sesuai dengan
ajaran nyata dari Al-Qur’an, secara ketat berpegang pada posisi bahwa dunia diciptakan
oleh Tuhan muncul dari ketiadaan mutlak.
Pada saat tertentu pada masa lampau dengan interval terbatas dari masa sekarang.
Tuhan tidak hanya menciptakan forma, tetapi juga materi dan waktu bersama keduanya,
yang memiliki permulaan tertentu dan oleh karenanya bersifat terbatas.[10]
Keabadian Dunia
Al-Ghazali menolak menggunakan
asumsi-asumsi yang dinyatakan oleh falasifah dan memperlihatkan bahwa mempercayai
asal-usul dunia dari kehendak Tuhan yang abadi dalam waktu tertentu sesuai dengan
pilihan-Nya sama sekali tidak melanggar prinsip-prinsip fundamental
logika. Sedangkan asumsi falasifah bahwa
efek memiliki sebab dan bahwa suatu sebab merupakan kekuatan di luar efek yang
disebabkan, tidak memiliki pemaksaan logis tentang hal itu. Adalah sah untuk percaya
bahwa kehendak Tuhan memperlakukan suatu sebab atau setidak-tidaknya bahwa sebab
tersebut tidak terletak di luar, tetapi di dalam kehendak-Nya. Adalah mungkin untuk
berpikir bahwa kehendak Tuhan bersifat abadi dan objek dari kehendak tersebut telah
terjadi pada saat tertentu dalam waktu. Di sini harus dibuat pembeda antara keabadian
objek dari kehendak Tuhan. Oleh karenanya secara logis bukan tidak sah untuk menegaskan
keyakinan ortodoks bahwa Tuhan secara azali berkehendak bahwa dunia harus terwujud
secara demikian dan pada saat tertentu dalam waktu.[11]
Namun, titik pijak
Al-Ghazali sesungguhnya adalah bahwa Tuhan pantas saja menetapkan secara bebas suatu
saat tertentu lebih utama dari saat yang lain
untuk mewujudkan dunia. Kehendak Tuhan
sepenuh nyata dibatasi. Kehendak-Nya tidak bergantung kepada pembeda-pembedaan
di dunia luar, karena kehendak itu sendirilah sumber dari segala pembedaan tersebut.
Tuhan memilih saat tertentu bagi penciptaan
alam semesta.Tidak ada cara untuk menjelaskan pilihan Tuhan dalam hal apapun.
Teori Emanasi
Kritik Al-Ghazali terhadap argument
emanasionistik mengandung penjelasan bahwa argument tersebut, di satu sisi gagal
memberi gambaran tentang keanekaragaman dan keteraturan di alam semesta, disisi
lain tidak melakukan yang terbaik dalam membela
keesaan Tuhan yang mutlak. Jika formulasi
yang diamati dengan lancar sering diulang-ulang bahwa “dari satu hanya satu
yang muncul ” harus diamati secara logika, seluruh wujud dunia akan terdiri dari
unit-unit. Setiap unit akan menjadi efek
dari unit lain di atasnya dan akan menjadi sebab bagi unit lain di bawahnya menurut
model linear. Namun, dalam kenyataan tidak
demikian. Menurut falasifah, setiap objek setidaknya tersusun dari forma dan materi.
Bagaimana benda yang tersusun (berkomposisi) kemudian terwujud ? Apakah dia hanya
memiliki satu sebab ? Jika jawabannya afirmatif, maka pernyataan bahwa “dari satu
hanya satu yang muncul” itu batal dan tidak berarti lagi. Sebaliknya, jika benda
berkomposisi memiliki sebab gabungan, maka persoalan yang sama akan terulang kembali
begitu seterusnya hingga pada titik yang majemuk secara niscaya bertemu dengan sederhana. Kontak antara efek majemuk dan sebab tunggal
di mana saja dia terjadi akan membuktikan kesalahan prinsip tersebut. Jadi, Seluruh maujud di alam semesta ditandai
dengan ketersusunan dan hanya Prinsip pertama, yakni Tuhan sendiri, yang dapat dikatakan
memiliki kesederhanaan dan kesatuan sejati. Hanya Dia semata yang memiliki identitas
sempurna, baik esensi maupun eksistensi. Dapat disimpulkan bahwa apakah prinsip
”hanya satu dari yang satu” yang gagal menjelaskan ketersusunan dan keanekaragaman,
seperti yang tampak di alam semesta, ataukah memang Tuhan tidak memiliki keesaan
murni. Seluruh premis falasifah yang berkaitan dengan teori mereka tentang emanasi
dikritik oleh Al-Ghazali tanpa pengecualian[12].
Penggunaan
“rasio” dalam wilayah metafisika tidak memadai dan keliru. Kita dengan mudah dapat
memahami dari argument Al-Ghazali bahwa rasio semata tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan
filsafat yang perennial tersebut. Karena pertimbangan awal ini, akhirnya
Al-Ghazali hanya bersandar kepada “Wahyu” untuk memperoleh pengetahuan metafisika.
Sisi paling
penting dari konsepsi Al-Ghazali dalam menolak metafisika rasional adalah penekanannya
pada ketidakmampuan rasio manusia untuk menangkap secara akurat penyelesaian secara
memuaskan persoalan-persoalan metafisika dan teologi. Penekanan lain diberikan kepada
realitas Tuhan yang “berkehendak”, yaitu Tuhan sebagai pelaku yang “ berkehendak
”. Al-Ghazali sangat jarang berbicara tentang kemungkinan subjek manusia
”berkehendak” untuk membangun batang tubuh pengetahuan dalam upaya memahami fenomena
alam, terutama etika mistiknya.[13]
KESIMPULAN
Dari makalah ini sedikit penulis
menyampaikan beberapa dalam makalah ini, bahwa menurut al-Ghozali filsafat
hanya semata-mata untuk menguatkan dasar-dasar ilmu kalam. Al-Ghozali juga memandang
bahwasannya cara pengambilan yang demikian sangat dangkal. Sebab, dalam
berfilsafat bukanlah keyakinan kita bertambah teguh melainkan tenggelam dalam
keraguan dan kegelapan. Segala kebenaran, keadilan, kecintaan, dan keyakinan
kita memang menjadi pintar (rasio), pandai mengumpulkan fikiran kita sendiri.
Tetapi, jiwa menjadi kosong. Sebab, akal saja tidaklah dapat mencari nilai.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.albarokah.or.id. Diakses tanggal 28
oktober 2010.
Abullah,
Amin, “Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam”, (Bandung:
Mizan, 2002).
Asmin
Yudian Wahyudi, “Aliran dan Teori Filsafat Islam”, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2004).
[2] Ada yang mengatakan nama Al-Ghozzali
ini berasal dari kata Ghazzal, yang artinya tukang pintal benang karena
pekerjaan ayahnya memintal benang wol. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa
nama al ghazali diambil dari ghazalah, nama Kampung kelahiran
al-Ghazali. Yang terakhir ini inilah yang banyak dipakai.
[3] Aliran Hasywiah
berpegang pada arti dari suatu teks(ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah) agar
mereka tidak mengosongkan Allah dari sifat-sifat, sehingga mereka
antropomorfis.
[4] Mu’tazilah
berlebih-lebihan dalam menyucikan Allah, sehingga mereka harus menafikan
sifat-sifat dari Allah.
[6] Ibid, hlm, 75.
[8]Antara Al-Ghazali dan
Kant: Filsafat Etika Islam, hlm. 58.
[9]Ibid, hlm. 62.
[10]Ibid, hlm. 62.
[11]Ibid, hlm. 63
[12] Ibid, hlm, 64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar