A.
Sejarah Munculnya Persoalan-persoalan Teologis dalam Islam
Teologi islam atau
ilmu kalam sebagai ilmu pengetahuan, baru muncul sekitar abad ke-3 Hijriah. Hal
ini sama sekali bukan berarti aspek akidah atau teologi tidak mendapat
perhatian dalam ajaran islam atau ilmu-ilmu keislaman, bahkan sebaliknya dalam
agama islam aspek akidah merupakan inti ajarannya.
Pada waktu itu
umat islam masih bersatu dalam segala persoalan pokok akidah, bersatu dalam
memahaminya. Umat islam waktu itu tidak pernah berkeinginan untuk mengungkit
persoalan akidah yang telah tertanam dan berakar kuat di hati umat islam.
Umat islam terus
mengisi ruangan sejarah yang terus berjalan hingga sejarah itu sendiri
memproduk beberapa persoalan yang muncul kemudian yang harus dihadapi umat
islam, termasuk dengan munculnya persoalan-persoalan dalam masalah teologi.
Persoalan-persoalan tersebut diantaranya yaitu:
Ketika Nabi
Muhammad SAW masih hidup, semua persoalan agama dapat ditanyakan kepada beliau
secara langsung. Dan jawaban dari persoalan tersebut dapat diperoleh secara
langsung dari Rasulullah SAW. Para sahabat dan kaum muslimin percaya dengan
sepenuh hati, bahwa apa yang diterima dan disampaikan oleh Nabi adalah
berdasarkan wahyu Allah. Dengan demikian, tak ada keraguan sedikitpun terutama
kebenarannya.
Dalam masalah
akidah atau teologi, umat islam pada masa Nabi SAW tidak terjadi perpecahan
atau pengelompokan. Mereka semua bersatu dalam masalah akidah sampai pada saat
dua kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, yakni pada masa pemerintahan kholifah Abu
Bakar As-Sidiq dan khalifah Umar bin Khatab. Karena pada masa setelahnya umat
islam telah terusik nafsunya untuk mengambil pemahaman secara sepihak menurut
versi kelompoknya dalam masalah agama termasuk persoalan akidah atau teologi
yang dalam agama islam merupakan ajaran yang pokok.
Persoalan teologi
dalam umat islam memang bukan merupakan persoalan yang muncul sebagai persoalan
teologis. Namun persoalan-persoalan teologi dalam umat islam muncul dikarenakan
isu persoalan politik yang melahirkan peristiwa pembunuhan Usman bin Affan
sebagai khalifah umat islam yang sah pada waktu itu. Dan dalam peristiwa
pembunuhan tersebut yang terlibat langsung adalah umat islam.
Ternyata,
persoalan pertama yang muncul dalam islam justru persoalan politik yang
kemudian disusul persoalan teologi. Ketika Nabi SAW wafat, yang terfikir di
dalam kalangan (para sahabat) adalah siapa pengganti Rasulullah SAW? Dan
berlanjut sampai khalifah Usman yang terbunuh merupakan titik awal lahirnya
permasalahan teologi yang dipertentangkan. Dari peristiwa pembunuhan Usman yang
menjadi permasalahan adalah dosa apa yang telah diperbuat olehnya, dan
bagaimana dosanya bagi orang-orang yang membunuh beliau? Peristiwa pembunuhan
itu sebenarnya merupakan peristiwa politik karena mempunyai latar belakang yang
bermuatan politik, yakni sebagai tanggapan terhadap kebijaksanaan pemerintahan
yang dijalankan pada waktu itu.
Pembicaraan
masalah dosa tersebut semakin meningkat ketika terjadi perebutan kekuasaan
antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah dengan keputusan akhir adanya arbitrase
(takhim). Kelompok yang tidak setuju adanya arbitrase, menganggap bahwa
orang yang terlibat dalam persoalan arbitrase, seperti Ali bin Abi Thalib,
Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al Asy’ari dan lain-lain dianggap kafir,
karena telah mengambil hukum yang tidak berdasarkan Al-Qur’an. Karena Allah
berfirman di dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 44 yang artinya:
“Barang siapa
yang tidak memutuskan, menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
kafir.”
Mereka (kaum
khawarij) berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrase
manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang
ada dalam Al-Qur’an. Kemudian pengertian kafir semakin berkembang tidak hanya
pada orang yang tidak menentukan hukum berdasarkan Al-Qur’an, tetapi juga orang
yang berbuat dosa besar. Persoalan dosa besar mempunyai pengaruh besar dalam
pertumbuhan teologi selanjutnya. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi
dalam islam.
Dalam masalah
teologis juga muncul persoalan mengenai perbuatan manusia dalam kaitannya
dengan perbuatan Tuhan. Pertanyaan di sekitar persoalan tersebut diantaranya
apakah manusia melakukan perbuatannya sendiri atau tidak? Apakah perbuatan yang
dilakukan oleh manusia terdapat campur tangan (intervensi) dari Tuhan
yang mengatur alam raya ini beserta seluruh isinya? Kalau tuhan ikut campur
tangan dalam perbuatan manusia, sampai sejauh mana intervensi Tuhan
tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengusik para ulama kalam (Mutakallimin)
untuk membahasnya. Dari pembahasan yang dilakukan para Mutakallim ini
kemudian terbentuk aliran-aliran/paham dalam persoalan teologi. Aliran-aliran
telogi yang munculpun berangkat dari latar belakang persoalan-persoalan
tersebut.
Persoalan lain
yang muncul dalam teologi islam selain dua persoalan di atas adalah tentang
sifat Tuhan. Para Mutakallimin dalam membahas persoalan tentang sifat
Tuhan secara garis besar dapat di bagi menjadi dua golongan pendapat yang
berlawanan.
B. Pandangan-Pandangan Teologis Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah,
Jabariyah, Qadariyah, Asy’ariyah
dan Maturidiyah
1. Masalah status dan nasib pelaku
dosa besar
Pertama, aliran
Khawarij berpendapat bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir. Artinya
keluar dari islam (murtad), karena itu ia wajib dibunuh. Kedua,
aliran Murji’ah menegaskan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin,
bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk
diampuni atau tidak. Ketiga, aliran Mu’tazilah, kaum ini tidak setuju
dengan pendapat-pendapat di atas. Bagi orang yang berdosa besar bukan kafir
tetapi juga bukan mukmin. Orang yang melakukan dosa besar mengambil posisi
antara mukmin dan kafir. Hal ini dikenal dengan paham/istilah Manzilah baina
al Manzilataini. Keempat, aliran Asy’ariyah tidak mengafirkan orang-orang
yang melakukan dosa besar selama ia masih sujud ke Baitullah. Akan tetapi, jika
dosa besar itu dilakukan dengan anggapan bahwa hal ini di bolehkan (halal) dan
tidak meyakini keharamannya, maka ia dipandang kafir. Adapun balasan di akhirat
kelak bagi pelaku dosa besar hal itu bergantung pada kebijakan Tuhanyang maha
berkehendak. Kelima, aliran Maturidiyah menyatakan bahwa pelaku dosa
besar masih tetap mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan
yang diperoleh di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia.
2. Masalah perbuatan manusia
dalam kaitannya dengan perbuatan Tuhan
Pertama, aliran
Jabariyah yang dalam persoalan tersebut memahami bahwa manusia tidak
berkuasa atas perbuatannya. Hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan
segala amal perbuatan manusia. Semua amal perbuatan itu adalah atas Qudrat dan
Iradat-Nya. Manusia tidak mencampuri sama sekali.
Dalam paham Jabariyah,
perbuatan manusia dalam hubungannya dengan tuhan sering digambarkan bagai bulu
ayam yang diikat dengan tali yang digantungkan di udara. Kemana angin
bertiup kesanalah bulu ayam itu terbang. Ia tidak mampu menentukan dirinya
sendiri, tetapi terserah angin. Apabila perbuatan manusia diumpamakan sebagai bulu
ayam, maka angin itu adalah Tuhan yang menentukan ke arah mana dan
bagaimana perbuatan manusia itu dilakukan. Kadang-kadang manusia diumpamakan
pula seperti wayang yang tidak berdaya. Bagaimana dan ke mana ia
bergerak terserah dalang yang memainkan wayang itu. Dalang bagi manusia
adalah Tuhan.
Kedua, aliran
Qadariyah sering juga diidentikkan dengan aliran Mu’tazilah. Aliran
Qadariyah memahami bahwa manusia itu bebas memilih atas perbuatannya (kholiqul
af-al). Mereka berpendapat bahwa kemauan manusia itu bebas, dan itu berarti
bahwa manusia itu bebas untuk berbuat atau tidak berbuat, sehingga manusia
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perbuatannya, manusia berhak menerima
pujian dan pahala atas perbuatannya yang baik dan menerima celaan dan hukuman
atas perbuatannya yang salah atau dosa.
Dari uraian
singkat di atas, maka terlihat bahwa menurut paham Qadariyah, Tuhan
tidak ikut campur tangan dalam perbuatan manusia. Manusia sendirilah yang
melakukan perbuatan itu. Jika perbuatan manusia diciptakan Tuhan seluruhnya,
maka taklif tidak ada artinya. Pahala dan siksa tidak berguna karena
perbuatan itu dikerjakan bukan dengan kehendak dan kemauan sendiri.
Ketiga, aliran
Asy’ariyah yang dalam persoalan ini lebih dekat dengan paham Jabariyah
daripada kepada paham Mu’tazilah. Untuk menggambarkan pahamnya mengenai
perbuatan manusia dalam kaitannya dengan perbuatan Tuhan, Asy’ary menggunakan
teori Al-Kasb.
3. Masalah sifat-sifat Tuhan
Pertama, aliran
Mu’tazilah yang memahami dan membahas persoalan ini dengan berpendapat
bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Mereka berargumen jika Tuhan mempunyai
sifat, sifat itu mesti kekal seperti halnya dengan zat Tuhan. Namun jika
demikian maka yang bersifat kekal bukanlah satu lagi, tetapi banyak. Jika Tuhan
itu mempunyai sifat-sifat maka akan menyebabkan paham banyak yang kekal (Ta’aduddul
qudama) yang selanjutnya melahirkan paham syirik atau polytheisme
sebagai sesuatu yang tidak mendapat tempat di dalam teologi islam.
Jadi menurut
Mu’tazilah Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat sebagaimana pendapat
golongan lain. Apa yang dipandang sebagai sifat dalam pendapat golongan, bagi
Mu’tazilah tidak lain adalah zat Allah sendiri.
Kedua, aliran
Asy’ariyah yang membahas persoalan sifat-sifat Tuhan dengan mengambil sikap
yang berlawanan dengan pendapat golongan Mu’tazilah. Aliran Asy’ariyah dengan
tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mereka pula mengatakan bahwa Tuhan
mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya di samping mempunyai
pengetahuan, kemauan dan daya.
Ketiga, aliran
Maturidiyah yang dalam hal
ini berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Sifat-sifat Tuhan kekal
melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui
sifat-sifat itu sendiri. Maka selanjutnya mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama
sifat-Nya kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar