Selasa, 01 Mei 2012

Sejarah Munculnya Persoalan-Persoalan Teologis Dalam Islam


A.    Sejarah Munculnya Persoalan-persoalan Teologis dalam Islam

            Teologi islam atau ilmu kalam sebagai ilmu pengetahuan, baru muncul sekitar abad ke-3 Hijriah. Hal ini sama sekali bukan berarti aspek akidah atau teologi tidak mendapat perhatian dalam ajaran islam atau ilmu-ilmu keislaman, bahkan sebaliknya dalam agama islam aspek akidah merupakan inti ajarannya.
            Pada waktu itu umat islam masih bersatu dalam segala persoalan pokok akidah, bersatu dalam memahaminya. Umat islam waktu itu tidak pernah berkeinginan untuk mengungkit persoalan akidah yang telah tertanam dan berakar kuat di hati umat islam.
            Umat islam terus mengisi ruangan sejarah yang terus berjalan hingga sejarah itu sendiri memproduk beberapa persoalan yang muncul kemudian yang harus dihadapi umat islam, termasuk dengan munculnya persoalan-persoalan dalam masalah teologi. Persoalan-persoalan tersebut diantaranya yaitu:
            Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, semua persoalan agama dapat ditanyakan kepada beliau secara langsung. Dan jawaban dari persoalan tersebut dapat diperoleh secara langsung dari Rasulullah SAW. Para sahabat dan kaum muslimin percaya dengan sepenuh hati, bahwa apa yang diterima dan disampaikan oleh Nabi adalah berdasarkan wahyu Allah. Dengan demikian, tak ada keraguan sedikitpun terutama kebenarannya.
            Dalam masalah akidah atau teologi, umat islam pada masa Nabi SAW tidak terjadi perpecahan atau pengelompokan. Mereka semua bersatu dalam masalah akidah sampai pada saat dua kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, yakni pada masa pemerintahan kholifah Abu Bakar As-Sidiq dan khalifah Umar bin Khatab. Karena pada masa setelahnya umat islam telah terusik nafsunya untuk mengambil pemahaman secara sepihak menurut versi kelompoknya dalam masalah agama termasuk persoalan akidah atau teologi yang dalam agama islam merupakan ajaran yang pokok.
            Persoalan teologi dalam umat islam memang bukan merupakan persoalan yang muncul sebagai persoalan teologis. Namun persoalan-persoalan teologi dalam umat islam muncul dikarenakan isu persoalan politik yang melahirkan peristiwa pembunuhan Usman bin Affan sebagai khalifah umat islam yang sah pada waktu itu. Dan dalam peristiwa pembunuhan tersebut yang terlibat langsung adalah umat islam.
            Ternyata, persoalan pertama yang muncul dalam islam justru persoalan politik yang kemudian disusul persoalan teologi. Ketika Nabi SAW wafat, yang terfikir di dalam kalangan (para sahabat) adalah siapa pengganti Rasulullah SAW? Dan berlanjut sampai khalifah Usman yang terbunuh merupakan titik awal lahirnya permasalahan teologi yang dipertentangkan. Dari peristiwa pembunuhan Usman yang menjadi permasalahan adalah dosa apa yang telah diperbuat olehnya, dan bagaimana dosanya bagi orang-orang yang membunuh beliau? Peristiwa pembunuhan itu sebenarnya merupakan peristiwa politik karena mempunyai latar belakang yang bermuatan politik, yakni sebagai tanggapan terhadap kebijaksanaan pemerintahan yang dijalankan pada waktu itu.
            Pembicaraan masalah dosa tersebut semakin meningkat ketika terjadi perebutan kekuasaan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah dengan keputusan akhir adanya arbitrase (takhim). Kelompok yang tidak setuju adanya arbitrase, menganggap bahwa orang yang terlibat dalam persoalan arbitrase, seperti Ali bin Abi Thalib, Muawiyah, Amr bin Ash, Abu Musa al Asy’ari dan lain-lain dianggap kafir, karena telah mengambil hukum yang tidak berdasarkan Al-Qur’an. Karena Allah berfirman di dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 44 yang artinya:
            “Barang siapa yang tidak memutuskan, menurut apa yang diturunkan Allah, maka            mereka itu adalah orang-orang yang kafir.”
            Mereka (kaum khawarij) berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an. Kemudian pengertian kafir semakin berkembang tidak hanya pada orang yang tidak menentukan hukum berdasarkan Al-Qur’an, tetapi juga orang yang berbuat dosa besar. Persoalan dosa besar mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya. Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam.
            Dalam masalah teologis juga muncul persoalan mengenai perbuatan manusia dalam kaitannya dengan perbuatan Tuhan. Pertanyaan di sekitar persoalan tersebut diantaranya apakah manusia melakukan perbuatannya sendiri atau tidak? Apakah perbuatan yang dilakukan oleh manusia terdapat campur tangan (intervensi) dari Tuhan yang mengatur alam raya ini beserta seluruh isinya? Kalau tuhan ikut campur tangan dalam perbuatan manusia, sampai sejauh mana intervensi Tuhan tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengusik para ulama kalam (Mutakallimin) untuk membahasnya. Dari pembahasan yang dilakukan para Mutakallim ini kemudian terbentuk aliran-aliran/paham dalam persoalan teologi. Aliran-aliran telogi yang munculpun berangkat dari latar belakang persoalan-persoalan tersebut.
            Persoalan lain yang muncul dalam teologi islam selain dua persoalan di atas adalah tentang sifat Tuhan. Para Mutakallimin dalam membahas persoalan tentang sifat Tuhan secara garis besar dapat di bagi menjadi dua golongan pendapat yang berlawanan.

B.  Pandangan-Pandangan Teologis Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah

1.  Masalah status dan nasib pelaku dosa besar
            Pertama, aliran Khawarij berpendapat bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir. Artinya keluar dari islam (murtad), karena itu ia wajib dibunuh. Kedua, aliran Murji’ah menegaskan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin, bukan kafir. Adapun dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk diampuni atau tidak. Ketiga, aliran Mu’tazilah, kaum ini tidak setuju dengan pendapat-pendapat di atas. Bagi orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi juga bukan mukmin. Orang yang melakukan dosa besar mengambil posisi antara mukmin dan kafir. Hal ini dikenal dengan paham/istilah Manzilah baina al Manzilataini. Keempat, aliran Asy’ariyah tidak mengafirkan orang-orang yang melakukan dosa besar selama ia masih sujud ke Baitullah. Akan tetapi, jika dosa besar itu dilakukan dengan anggapan bahwa hal ini di bolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, maka ia dipandang kafir. Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar hal itu bergantung pada kebijakan Tuhanyang maha berkehendak. Kelima, aliran Maturidiyah menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperoleh di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia.

2.  Masalah perbuatan manusia dalam kaitannya dengan perbuatan Tuhan
            Pertama, aliran Jabariyah yang dalam persoalan tersebut memahami bahwa manusia tidak berkuasa atas perbuatannya. Hanya Allah sajalah yang menentukan dan memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua amal perbuatan itu adalah atas Qudrat dan Iradat-Nya. Manusia tidak mencampuri sama sekali.
            Dalam paham Jabariyah, perbuatan manusia dalam hubungannya dengan tuhan sering digambarkan bagai bulu ayam yang diikat dengan tali yang digantungkan di udara. Kemana angin bertiup kesanalah bulu ayam itu terbang. Ia tidak mampu menentukan dirinya sendiri, tetapi terserah angin. Apabila perbuatan manusia diumpamakan sebagai bulu ayam, maka angin itu adalah Tuhan yang menentukan ke arah mana dan bagaimana perbuatan manusia itu dilakukan. Kadang-kadang manusia diumpamakan pula seperti wayang yang tidak berdaya. Bagaimana dan ke mana ia bergerak terserah dalang yang memainkan wayang itu. Dalang bagi manusia adalah Tuhan.
            Kedua, aliran Qadariyah sering juga diidentikkan dengan aliran Mu’tazilah. Aliran Qadariyah memahami bahwa manusia itu bebas memilih atas perbuatannya (kholiqul af-al). Mereka berpendapat bahwa kemauan manusia itu bebas, dan itu berarti bahwa manusia itu bebas untuk berbuat atau tidak berbuat, sehingga manusia bertanggung jawab sepenuhnya terhadap perbuatannya, manusia berhak menerima pujian dan pahala atas perbuatannya yang baik dan menerima celaan dan hukuman atas perbuatannya yang salah atau dosa.
            Dari uraian singkat di atas, maka terlihat bahwa menurut paham Qadariyah, Tuhan tidak ikut campur tangan dalam perbuatan manusia. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan itu. Jika perbuatan manusia diciptakan Tuhan seluruhnya, maka taklif tidak ada artinya. Pahala dan siksa tidak berguna karena perbuatan itu dikerjakan bukan dengan kehendak dan kemauan sendiri.
            Ketiga, aliran Asy’ariyah yang dalam persoalan ini lebih dekat dengan paham Jabariyah daripada kepada paham Mu’tazilah. Untuk menggambarkan pahamnya mengenai perbuatan manusia dalam kaitannya dengan perbuatan Tuhan, Asy’ary menggunakan teori Al-Kasb.

3.  Masalah sifat-sifat Tuhan
            Pertama, aliran Mu’tazilah yang memahami dan membahas persoalan ini dengan berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat. Mereka berargumen jika Tuhan mempunyai sifat, sifat itu mesti kekal seperti halnya dengan zat Tuhan. Namun jika demikian maka yang bersifat kekal bukanlah satu lagi, tetapi banyak. Jika Tuhan itu mempunyai sifat-sifat maka akan menyebabkan paham banyak yang kekal (Ta’aduddul qudama) yang selanjutnya melahirkan paham syirik atau polytheisme sebagai sesuatu yang tidak mendapat tempat di dalam teologi islam.
            Jadi menurut Mu’tazilah Tuhan itu Esa, tidak mempunyai sifat-sifat sebagaimana pendapat golongan lain. Apa yang dipandang sebagai sifat dalam pendapat golongan, bagi Mu’tazilah tidak lain adalah zat Allah sendiri.
            Kedua, aliran Asy’ariyah yang membahas persoalan sifat-sifat Tuhan dengan mengambil sikap yang berlawanan dengan pendapat golongan Mu’tazilah. Aliran Asy’ariyah dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mereka pula mengatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa, dan sebagainya di samping mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya.
            Ketiga, aliran Maturidiyah yang dalam hal ini berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui sifat-sifat itu sendiri. Maka selanjutnya mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifat-Nya kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar