Kamis, 03 Mei 2012

Pemikiran Metafisika Al-Farabi

Pemikiran Metafiska
Al-Farabi

Abstract: Al-Farabi is an outstanding Muslim philosopher. He is well
known as the second master. He learnt logic, politics, and music. His
thought on metaphysics especially emanation has been studied broadly
by scholars. Emanation theory that developed by al-Farabi, although
regarded inappropriate with cosmonology theory, was an effort to unite
religion and philosophy. Trough his thoughts, Al-Farabi, in fact, tried to
strengthen the core of Islamic tenet, i.e. tauhid, even though some
scholars denied because of religious reasons.
Keywords: Yang Esa, Yang Banyak, wujud, Akal, Neo Platonisme.

Pendahuluan
Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tapi dengan
kompetensi, kreativitas, kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih
tinggi lagi. Jika al-Kindi dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti
kata yang sebenarnya, Al-Farabi disepakati sebagai peletak sesungguhnya
dasar piramida studi falsafah dalam Islam yang sejak itu terus dibangun
dengan tekun.1 Ia terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar
setelah panutannya Aristoteles.2 Ia termasyhur karena telah memperkenalkan
dokrin “Harmonisasi pendapat Plato dan Aristoteles”.3 Ia mempunyai
kapasitas ilmu logika yang memadai.4 Di kalangan pemikir Latin ia dikenal
sebagai Abu Nashr atau Abunaser.5

Riwayat Hidup
Ia adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu
desa di Farab (Transoxania) pada tahun 870 M.6 Al-Farabi dalam
sumber-sumber Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr.7 Ia
berasal dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah
seorang Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di
Damsyik8 Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu ia biasa disebut
orang Persia atau orang Turki.9
Sebagai pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri
untuk berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupun
menulis karya-karya politik yang monumental. Ia meninggalkan
risalah penting. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi
dunia Barat dan Timur, lama sepeninggalnya10 Al-Farabi hidup di
tengah kegoncangan masyarakat dan politik Islam. Pemerintah pusat
Abbasiyah di Baghdad sedang berada di dalam kekacauan di bawah
pimpinan khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi. Saat itu
bermunculan negara-negara di daerah yang mengambil alih
kekuasaan. 11
Al-Farabi dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan
kemunduran masyarakat Islam. Sebagaimana sudah disinggung di
atas, ia tidak aktif dalam bidang politik, tetapi memberikan kontribusi
pemikiran dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata
negara. Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar
kokoh dalam fondasi filsafat.12 Walaupun al-Farabi merupakan ahli
metafiska Islam yang pertama terkemuka namun ia lebih terkenal di
kalangan kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik.13
Para ahli sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya,
terutama sebagai ahli logika yang masyhur dan juru bicara Plato dan
Aristoteles pada masanya. Ia belajar logika keadaa Yuhanna ibn
Hailan di Baghdad. Ia memperbaiki studi logika, meluaskan dan
melengkapi aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan al-Kindi.14
Kehidupan al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama
bermula dari sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya
ialah keagamaan dan bahasa; ia mempelajari fikh, hadis, dan tafsir al-
Qur’an. Ia juga mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia.
Periode kedua adalah periode usia tua dan kematangan
intelektual. Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka pada
abad ke-4/10.Di sana ia bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang,
diantaranya para filosof dan penerjemah. Ia tertarik untuk
mempelajari logika, dan diantara ahli logika paling terkemuka adalah
Abu Bisyr Matta ibn Yunus.15 Untuk beberapa lama ia belajar
dengannya.16 Baghdad merupakan kota yang pertama kali
dikunjunginya. Di sini ia berada selama dua puluh tahun, kemudian
pindah ke Damaskus. Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo,
Saifuddaulah al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan al-
Farabi, lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat
al-Farabi sebagai ulama istana.17
Kota kesayangannya adalah Damaskus. Ia menghabiskan
umurnya bukan di tengah-tengah kota, akan tetapi di sebuah kebun
yan terletak di pinggir kota. Di tempat inilah ia kebanyakan mendapat
ilham menulis buku-buku filsafat.18
Begitu mendalam penyelidikanya tentang filsafat Yunani
terutama mengenai filsafat Plato dan Aristoteles, sehingga ia digelari
julukan Mu’alim Tsani (Guru Kedua), karena Guru Pertama diberikan
kepada Aristoteles, disebabkan usaha Aristoteles meletakkan dasar
ilmu logika yang pertama dalam sejarah dunia. 19
Al-Farabi menunjukkan kehidupan spiritual dalam usianya
yang masih sangat muda dan mempraktekkan kehidupan sufi. Ia juga
ahli musik terbesar dalam sejarah Islam dan komponis beberapa irama
musik, yang masih dapat didengarkan dalam perbendaharaan lagu
sufi musik India.20 Orde Maulawiyah dari Anatolia masih terus
memainkan komposisinya sampai sekarang.21
Al-Farabi telah mengarang ilmu musik dalam lima bagian.
Buku-buku ini masih berupa naskah dalam bahasa Arab, akan tetapi
sebagiannya sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh D’Erlenger.
Teorinya tentang harmoni belum dipelajari secara mendalam.
Pengetahuan estetika al-Farabi bergandengan dengan kemampuan
logikanya. Ia meninggal pada tahun 950 M dalam usia 80 tahun.

Karya-karyanya
Ia meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya al-
Farabi dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika
dan mengenai subyek lain. Tentang logika al-Farabi mengatakan
bahwa filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan
luas adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama , baik ditinjau
dari sudut waktu (temporal) maupun dari sudut logika.
Dikatakan “lebih dahulu”dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi
berkeyakinan bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti
penggunaan akal secara luas bermula sejak zaman Mesir
Kuno dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan
Musa. Dikatakan lebih dahulu secara logika karena
semua kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada
mulanya lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil
oleh para Nabi.22
Karya al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian
berbeda dari karya Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar
maupun ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah;
dan sebagain besar naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedang karya
dalam kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan
filsafat, fisika, matematika dan politik.23 Kebanyakan pemikiran yang
dikembangkan oleh al-Farabi sangat berafiliasi dengan system
pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles.24 Diantara judul
karya al-Farabi yang terkenal adalah :
1. Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah
2. Ihsha’ al-Ulum 25
3. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
4. Kitab Tahshil al-Sa’adah
5. ‘U’yun al-Masa’il
6. Risalah fi al-Aql
7. Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu
8. Risalah fi Masail Mutafariqah
9. Al-Ta’liqat
10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat 26

Pemikiran tentang Metafisika
Menyibukkan diri di bidang filsafat bukanlah suatu kegiatan yang
hanya dilakukan oleh segelintir orang saja, melainkan merupakan
salah satu ciri kemanusiaan kita. Berfilsafat merupakan salah satu
kemungkinan yang terbuka bagi setiap orang., seketika ia mampu
menerobos lingkaran kebiasaan sehari-hari.27 Salah satu cabang filsafat
adalah metafisika. Kebutuhan manusia akan metafisika merupakan
dorongan yang muncul dari hidup manusia yang mempertanyakan
hakikat kenyataan.28
Manusia adalah produk masyarakat tertentu. Ia adalah anak
zamannya. Manusia tidak membentuk diri sendiri. Opini-opini pribadi
dibentuk oleh masyarakat tempat tinggalnya.29 Setiap pemikiran selalu
mewakili zamannya dan hasil dialektika dengan sejarahnya. Hasilnya
terkadang spekulatif dan terkadang pula hasil pengembangan
pemikiran yang sudah ada. Diskusi tentang metafisika ini sudah
dimulai dari masa Yunani Kuno yang mempersoalkan tentang being
atau “yang ada”30
Heraklitos dikritik oleh Parmanides,31 Plato dikritik oleh
Aristoteles (Guru Pertama).32 Heraklitos berteori bahwa hakikat
kenyataan adalah perubahan. Teori ini ditentang oleh Parmanides
yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan adalah yang tetap. Plato
berusaha mengkomromikan wacana ini dengan cara mengakomodir
keduanya. Baginya hakikat kenyataan adalah dua yaitu yang tetap
(alam ide) dan yang berubah (alam nyata). Plato sendiri berpihak
kepada alam yang tetap yaitu alam ide sebagai hakikat sesungguhnya
kenyataan. Sedangkan alam yang berubah yaitu alam nyata hanyalah
bayangan saja. Aristoteles murid Plato juga mencoba memecahkan
masalah ini. Ia mengikuti pembagian kenyataan ini kepada dua yaitu
yang tetap (form) dan yang berubah (matter). Aristoteles, berbeda
dengan Plato, berpihak pada yang berubah. Dalam penyusunan logika
yang terbagi kepada dua belas kategori pada hakikatnya ia membagi
kepada dua yaitu esensi (satu kategori) dan aksidensi (11 kategori). Al-
Farabi seperti Aristoteles membedakan antara materi dan bentuk.
Materi merupakan kemungkinan, sedangkan bentuk yang
menentukan kemungkinan itu. Sebagai contoh ia mengatakan bahwa
kayu sebagai materi mengandung banyak kemungkinan: menjadi
kursi, lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu barulah terlaksana
menjadi suatu kenyataan kalau diberi bentuk. Misalnya bentuk kursi,
lemari, meja dan sebagainya.33
Ajaran Aristoteles tentang materi-bentuk, berangkat dari ajaran
tentang gerak. Gerak menurut Aristoteles ada dua macam, gerak
karena perbuatan (aksi) seperti batu yang dilemparkan orang, dan
gerak spontan menurut kodrat, seperti batu yang jatuh ke bawah.
Pengertian gerak (Yunani –kinesis, Latin motus, Inggeris motion) bagi
Aristoteles tidak sebagaimana pengertian modern ; perubahan lokal,
seperti bergeraknya mobil dari suatu tempat ke tempat yang lain. Bagi
Aristoteles, gerak juga berarti perubahan, dan perubahan dapat
dibedakan dalam empat macam ; perubahan/gerak substansial, gerak
kuantitatif, gerak kualitatif, dan gerak lokal.
Gerak susbstansial adalah perubahan dari suatu substansi
menjadi substansi lain, misalnya jika seekor anjing mati kemudian
berubah menjadi bangkai, maka ia telah mengalami perubahan
substansial. Atau mungkin juga bisa dikatakan kayu yang dibakar
kemudian berubah menjadi abu. Gerak kuantitatif, yaitu perubahan
yang terjadi pada kuantitasnya seperti dari satu menjadi dua, tiga dan
seterusnya, atau dari kecil menjadi besar, seperti pohon kecil menjadi
besar. Gerak kualitatif, jika kertas putih berubah warnanya
menjadi kuning, atau bunga yang berwarna merah jingga kemudian
esok harinya berubah menjadi layu, maka perubahan itulah yang
disebut perubahan kualitatif. Gerak lokal, yaitu perpindahan dari
suatu tempat ke tempat lain, misalnya pagi hari malas berada di
kamar kemudian siang hari berada di ruang tamu.
Kemudian Aristoteles menyusun logika yang merupakan
hukum-hukum berpikir secara silogistis. Walaupun Aristoteles sudah
merekomendasikan ke alam nyata namun dengan silogistis ini maka
dialektika antara kenyataan dengan akal menjadi penting dan akal
lebih merupakan penentu. Setelah Plato dan Aristoteles tidak ada
pemikir genial yang muncul,34 Baru lima abad kemudian muncul
Plotinus.35 Plotinus menerangkan kemunculan alam dengan adanya
hirarcy of being.
Metafisika, menurut al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian
utama :
1. Bagian yang berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu
ontologi.
2. Bagian yang berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat
dan bilangannya, serta derajat keunggulannya, yang pada akhirnya
memuncak dalam studi tentang “suatu wujud sempurna yang
tidak lebih besar daripada yang dapat dibayangkan”, yang
merupakan prinsip terakhir dari segala sesuatu yang lainnya
mengambil sebagai sumber wujudnya, yaiu teologi.
3. Bagian yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi
yang mendasari ilmu-ilmu khusus.36
Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilahi) karena
materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki
peringkat tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminology religius,
wujud non fisik mengacu kepada Tuhan dan malaikat. Dalam
terminology filosofis, wujud ini merujuk pada Sebab Pertama, sebab
kedua, dan intelek aktif.37
Dalam kajian metafisika salah satu tujuannya adalah untuk
menegakkan tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar
dari ajaran Islam. Segala yang ada selain Allah adalah makhluk,
diciptakan (hadis). Tetapi bagaimana yang banyak keluar dari yang
Ahad memunculkan diskusi yang mendalam.38
Masuknya filsafat Yunani ke dunia Islam tentu saja menimbulkan
berbagai persoalan, karena para apparatus ilmu/ulama merespons
dengan ilmu mereka masing-masing. Filsafat dan ilmu
pengetahuan timbul sebagai produk pemikiran manusia. Akal
yang dianugerahakan Tuhan kepada manusia itulah yang
menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam kebudayaan
Yunani dan Persia akal mempunyai kedudukan penting. Sementara di
dalam Islam akal juga mempunyai kedudukan yang tinggi. Akal
mempunyai kedudukan yang tinggi di dalam al-Quran dan Hadis.
Ayat yang pertama turun memerintahkan umat untuk membaca yang
berarti berpikir.39
Para ulama Islam zaman klasik menyadari hal itu dan dengan
demikian menghargai akal yang kedudukannya tinggi itu. Mereka
tidak segan-segan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan
filsafat Yunani yang mereka jumpai di daerah-daerah Bizantium dan
Persia yang jatuh ke bawah kekuasaan Islam.40 Seperti yang sudah
disinggung di depan ini sejalan dengan kedudukan tinggi dari akal
yang terdapat dalam peradaban Yunani yang dibawa Alexander Yang
Agung ke Timur Tengah pada abad ke-IV SM.41 Karena itu ada mind
set yang sama.42 Persepsi yang sama ini bertemu dan mempermudah
usaha pemaduannya.43
Karena ada platform atau mind set yang sama maka umat Islam
pada masa Islam klasik tanpa beban mencoba untuk mengambil
filsafat dan ilmu pengetahuan dari Yunani itu. Karena khazanah
Yunani itu dalam bahasa Yunani maka dilaksanakan program
penerjemahan ke dalam bahasa Arab. Pada mulanya buku-buku itu
diterjemahkan ke dalam bahasa Siriac, bahasa ilmu pengetahuan di
Mesopotamia pada saat itu. Kemudian ke dalam bahasa Arab dan
akhirnya penerjemahan langsung ke dalam bahasa Arab.44
Pandangan luas dari ulama zaman itu membuat para filosof
Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ibn Tufail
dan Ibn Rusyd dapat menerima filsafat Pytagoras, Plato, Aristoteles,
dan lain-lain, walaupun sesungguhnya menurut Harun filosof-filosof
Yunani itu bukan orang yang beragama, seperti yang dikenal dalam
Abrahamic Religion. Filsafat mereka dengan mudah dapat disesuaikan
oleh filosof-filosof Islam itu dengan ajaran dasar dalam al-Quran. Idea
Tertinggi Plato, Penggerak Pertama Aristoteles, dan Yang Maha Satu
Plotinus mereka identikkan dengan Allah SWT. Bahkan al-Farabi
berpendapat bahwa Plotinus dan Aristoteles termasuk dalam jumlah
nabi-nabi yang tidak disebutkan namanya dalam al-Quran. Oleh
karena itu ia berusaha untuk mendamaikan filsafat Aristoteles dengan
gurunya Plato.45
Sikap yang apresiatif ini berbeda dengan sikap yang muncul
belakangan yang beranggapan bahwa filsafat membawa kepada
kekafiran, kemudian muncul pandangan mempelajari filsafat adalah
haram.46
Ada bebera respons akan kedatangan filsafat Yunani ini.
Pertama, respons yang sangat antusias di kalangan para filosof.
Kedua, sikap yang gembira yaitu oleh para ahli Kalam. Mereka
menggunakan metode-metode filsafat untuk ilmu kalam yang berguna
mempertahankan akidah dari serangan musuh yang menggunakan
metode filsafat Yunani. Ketiga, respos yang sangat kritis yaitu oleh
para fukaha’ dan ahli bahasa yang tidak senang dengan kedatangan
filsafat Yunani ini. Sedangkan sikap yang cenderung tenang adalah
para sufi.
Dari berbagai sikap ini tentu saja karena ada perbedaan
pandangan tentang kebenaran yang dibawa oleh filsafat Yunani.
Karena selama ini semenjak Rasulullah meninggal mereka hidup
dengan mempedomani ajaran al-Qur’an dan Hadis. Para ahli Fikh
yang menguasai mayoritas wacana umat merasa berkewajiban untuk
membela pandangan al-Qur’an dan Hadis. Mereka berpendapat
bahwa kebenaran hanyalah yang terdapat dalam al-Quran.
Titik debat ini dikarenakan selama ini umat hanya mengenal
kebenaran dengan paradigma wahyu sementara para filosof
membawa pandangan tentang kebenaran dengan paradigma filsafat.
Menurut Harun para filosof Islam mencurahkan pemikirannya untuk
menjelaskan kepada masyarakat bahwa kebenaran yang dibawa
filsafat sama dengan kebenaran yang dibawa oleh wahyu. Para
fukaha’ mendistorsi bahwa kebenaran hanya dalam interpretasi fikh.
Masuknya anasir lain ke tubuh umat Islam tak terelakkan lagi
bagi pemikir untuk memberikan pemecahan sesuai dengan kapasitas
masing-masing. Al-Kindi memang telah berusaha menelaah wacana
Neo-Platonisme akan tetapi ia belum secermat al-Farabi. Misalnya,
masalah hubungan “Yang Esa” dengan “alam yang pluralis” ini
merupakan masalah falsafi yang telah menjadi tema pembahasan
utama dalam kalangan filosof Yunani. Masalah ini juga telah
menduduki tempat yang khusus dalam pemikiran filosof Islam.
Dalam filsafat Yunani, problema ini dibahas dalam tingkat
fisika, sedangkan dalam filsafat Neo-Platonisme dan Islam, ia dikaji
sebagai problema keagamaan. Kendati cara pengkajian masalah
tersebut tidak berbeda dalam dua mazhab tersebut, namun tujuannya
tidak sama. Dalam mazhab Neo-Platonisme dan filsafat Islam, tujuan
pembahasan
metafisika adalah untuk membangun suatu sistem alam
semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal.
Dalam sistem yang semacam ini, masalah hubungan “Yang Esa”
dengan “pluralitas alamiah” ini merupakan titik berangkat atau dasar
utama dalam membangun filsafat seluruhnya.47 Alam semesta
muncul dari yang Esa dengan proses emanasi. Bertentangan dengan
dogma ortodoks tentang penciptaan, filsafat Islam mengemukakan
doktrin kekekalan alam. Doktrin emanasi digunakan untuk
menjelaskan ini.48
Hierarki wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :
1. Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
2. Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali
immaterial.
3. Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
4. Benda-benda bumi (teresterial).49
Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan
bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat
Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak
berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana
terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi
seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi.50
Proses emanasi itu adalah sebagai berikut.
Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari
pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud
pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga
mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang
tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama
dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua.
Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya
dan dari situ timbul langit pertama.
Wujud III/Akal II ------ Tuhan = Wujud IV/Akal Ketiga
------ dirinya = Bintang-bintang
Wujud IV/Akal III ------ Tuhan = Wujud V/Akal Keempat
------ dirinya=Saturnus
Wujud V/Akal IV ------ Tuhan =Wujud VI/Akal Kelima
------ dirinya=Jupiter
Wujud VI/Akal V ------ Tuhan=Wujud VII/Akal Keenam
------ dirinya=Mars
Wujud VII/AkalVI ------ Tuhan=Wujud VIII/Akal Ketujuh
------ dirinya=Matahari
Wujud VIII/Akal VII ------ Tuhan=Wujud IX/Akal Kedelapan
------ dirinya=Venus
Wujud IX/AkalVIII ------ Tuhan=Wujud X/Akal Kesembilan
------ dirinya=Mercury
Wujud X/Akal IX ------ Tuhan=Wujud XI/Akal Kesepuluh
------ dirinyaBulan
Pada pemikiran Wujud IX/Akal Kesepuluh ini berhenti terjadi
timbulnya akal-akal .Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi
serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat
unsur api, udara, air dan tanah. 51 Sepuluh lingkaran geosentris yang
disusun oleh al-Farabi berdasarkan sistem Ptolomeus.52 Teori ini
kemudian dilanjutkan oleh Ibn Sina.53 Teori pengetahuan dan juga
filsafat manusia serta filsafat kenabian diturunkan dari teori emanasi
ini.
Dalam risalahnya yang terkenal dengan klasifikasi ilmu
pengetahuan berjudul Ihsha’ al-Ulum, al-Farabi memandang
kosmologi sebagai cabang metafisika. Ia juga berpendapat bahwa
kosmologi mungkin diturunkan dari prinsip-prinsip sains partikular.54
Al-Farabi juga berpandangan bahwa penguasaan matematika tidak
dapat dikesampingkan dalam upaya memiliki pengetahuan yang
tepat mengenai pengetahuan-pengetahuan spiritual55 Kemampuan al-
Farabi di bidang matematika inipun mendapatkan posisi terkemuka di
kalangan filosof Islam.56
Sebagaimana al-Kindi, al-Farabi juga berkeyakinan bahwa
antara agama dan filsafat tidak ada pertentangan. Berbeda dengan al-
Kindi, jika terdapat perbedaan antara akal dan wahyu maka al-Farabi
memilih hasil akal sedangkan al-Kindi memilih wahyu.57 Menurut
pendapatnya kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran hasil
spekulasi filsafat hakikatnya satu, sungguhpun bentuknya berbeda.
Al-Farabi merupakan filosof Islam pertama yang mengusahakan
keharmonisan antara agama dan filsafat.
Dasar yang dipakainya untuk itu dua. Pertama pengadaan
keharmonisan antara filsafat Aristoteles dan Plato sehingga ia sesuai
dengan dasar-dasar Islam dan kedua, pemberian tafsir rasional
terhadap ajaran-ajaran Islam.58 Sikap ini tentu untuk mendukung
apresiasi terhadap pemikiran Yunani. Al-Farabi berkeyakinan bahwa
Aristoteles secara kategoris telah menolak keberadaan ide-ide Plato,
tetapi ketika Aristoteles tiba pada masalah teologi dan gagasan
tentang “sebab pertama” alam semesta, dia menemukan dirinya
berhadapan dengan masalah sulit menyangkut bentuk-bentuk
Ilahiyah, yang eksistensinya, tak syak lagi mesti diperanggapkan
dalam Akal Tertinggi Wujud Pertama.59
Eksplorasi dari sikap ini nampak dari wacana tentang
ketauhidan. Tentang Tuhan misalnya al-Kindi sebelumnya sudah
membicarakan tentang Tuhan sebagai sebab pertama, akan tetapi ia
tidak menerangkan bagaimana alam ini dijadikan. Al-Farabi
menjelaskan hal ini dengan teori emanasi.60 Disini ia menjelaskan
munculnya segala sesuatu dengan tidak melalui Kun Fayakun seperti
pemahaman tradisional. Segala sesuatu dari Wujud Pertama dalam
suatu cara yang sangat sistematis, dan dari sudut pandangan Islam
heterodok (mengandung banyak bid’ah).61
Al-Farabi membagi ilmu kepada dua, yaitu konsepsi
tasawwur mutlak dan konsep yang disertai keputusan pikiran
(judgment-tasdiq). Diantara konsep itu ada yang baru sempurna apabila
didahului oleh yang sebelumnya sebagaimana tidak mungkin
menggambarkan benda tanpa menggambarkan panjang, lebar dan
dalam tiga dimensi. Konsep tersebut tidak mesti diperlukan pada
setiap konsep, melainkan harus berhenti pada suatu konsep yang
penghabisan yang tidak mungkin dibayangkan adanya konsep yang
sebelumnya, seperti konsep tentang wujud, wajib dan mungkin.
Kesemuanya ini tidak memerlukan adanya konsep yang sebelumnya,
karena konsep-konsep tersebut adalah pengertian-pengertian yang
jelas dan benar dan terdapat dalam pikiran.
Adapun keputusan pikiran (judgment-tasdiq), maka diantaranya
ada yang tidak bisa diketahui, sebelum diketahui hal-hal sebelumnya.
Seperti pengetahuan bahwa alam ini baru. Untuk itu diperlukan
terlebih dahulu adanya putusan bahwa alam ini tersusun, dan tiap
yang tersusun berarti baru. Ini adalah hukum-hukum pikiran dasar
dan yang jelas dalam akal, seperti halnya dengan hukum yang
mengatakan bahwa keseluruhan lebih besar dari sebagian.
Kesemuanya ini adalah pikiran-pikiran yang terdapat dalam akal dan
yang bisa dikeluarkan sebagai pengingatan karena tidak ada sesuatu
yang lebih terang dari padanya dan tidak perlu dibuktikan karena
sudah jelas dengan sendirinya. Juga hukum-hukum tersebut
memberikan keyakinan dan juga merupakan dasar aksioma.62
Ada tiga hal pokok yang menjadi persoalan metafisika, yaitu ;
1. Segi esensi (zat) dan eksistensi (wujud) sesuatu.
2. Pokok utama segala yang maujud
3. Prinsip utama tentang gerak dasar menurut ilmu pengetahuan.
Dalam pandangan Aristoteles hakikat sesuatu terdiri dari
materi (hule) dan bentuk (form). Materi tidak akan dapat diketahui
hakikatnya kalau belum ada bentuknya. Namun antara materi dan
bentuk tidak dapat dipisahkan. Misalnya papan tulis yang dibikin dari
kayu. Kayu adalah materinya dan bangunan papan bersegi empat
itulah bentuknya. Dengan adanya bentuk dapat diketahui hakikat.
Begitu pula dengan kursi meja dan sebagainya memberi bentuk
kepada materi kayu sesuai dengan apa yang kita lihat. Sepintas lalu
dapat dikatakan bahwa bentuk berubah-ubah, tetapi sebenarnya
materilah yang berubah-ubah dalam arti berubah untuk mendapatkan
bentuk-bentuk tertentu.63
Dalam Fushus al-Hikmah al-Farabi membedakan antara zat
(esensi) dan wujud (eksistensi). Zat menanyakan apanya sesuatu,
wujud adanya sesuatu. Terdapat dua macam zat ;Pertama yang wajib
ada.64 Aristoteles membagi obyek metafisika kepada dua yaitu ; Yang
Ada sebagai yang Ada dan Yang Ilahi. Pengaruh Aristoteles kepada al-
Farabi kelihatan. Pembahasan mengenai yang ada, yang ada dalam
keadaannya yang wajar, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan
semacam ini berusaha untuk memahami yang ada itu dalam bentuk
semurni-murninya.
Dalam hal ini yang penting ialah bukannya apakah yang ada
itu dapat terkena oleh perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau
tidak melainkan apakah barang sesuatu itu memang sungguhsungguh
ada. Jika kita ikuti cara berpikir demikian berarti kita akan
sampai pada pendapat bahwa hanya Tuhanlah yang sungguhsungguh
ada, dalam arti kata yang semutlak-mutlaknya, artinya yang
tidak tergantung pada hal-hal lain. Segala sesuatu yang lainnya
mempunyai nilai nisbi.65 Dasar piramida falsafah yang diletakkan
dengan kukuh oleh al-Farabi ini segera dilanjutkan pembangunannya
oleh para penerusnya, dan karya-karya Guru Kedua ini
mempersiapkan kondisi dunia pemikiran Islam untuk mengalami
sekali lagi serbuan Hellenisme yang semakin dahsyat.66
Al-Farabi seperti Aristoteles membedakan antara materi (zat)
dan bentuk (shurah). Materi sendiri berupa kemungkinan. Sebagai
contoh ia mengemukakan : Kayu sebagai materi mengandung banyak
kemungkinan, mungkin menjadi kursi, lemari dan sebagainya.
Kemungkinan itu baru terlaksana jika sudah menjadi kenyataan kalau
diberi bentuk, misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainya.
Dengan cara berpikir demikian, al-Farabi mengecam pandangan para
ahli tafsir pada zamannya. Ciri rasionalismenya jelas terlihat dari jalan
pikirannya yang mengatakan, bahwa suatu kesimpulan yang diambil
di atas dasar-dasar yang kokoh adalah lebih berhak untuk hidup
daripada kepercayaan taklid seluruh umat Islam yang sama sekali
tidak didasari oleh dalil-dalil.67 Jadi argumentasi itu penting sekali dari
pada hanya mengandalkan emosi keagamaan semata-mata seperti yang
banyak terjadi di kalangan umat Islam.
Dalam risalahnya al-Farabi membedakan enam macam akal budi.
1. Akal budi pada umumnya dikatakan sebagai yang masuk akal
(reasonable) dan utama dalam bahasa (percakapan) sehari-hari dan yang
disebut oleh Aristoteles phironesis (al-ta’aqqul).
2. Akal budi yang dinyatakan oleh para teolog sebagai yang memerintah atau
larangan tindakan-tindakan umum tertentu dan yang sebagian identik
dengan pikiran sehat (common sense- indria bersama).
3. Akal budi yang oleh Aristoteles digambarkan dalam Analytica Posteriora
sebagai kecakapan memahami prinsip-prinsip primer demonstrasi, secara
instingtif dan intuitif.
4. Akal budi yang berakar dalam pengalaman. Akal budi ini memungkinkan
kita dapat mengambil keputusan secara jitu (tanpa salah), melalui
kecakapan intuitif, mengenai prinsip-prinsip dari benar dan salah.
5. Akal budi yang dapat diambil rujukannya dalam De Anima yang dikarang
oleh Aristoteles, seorang pemikir yang berpengaruh ke dalam dirinya
terutama dalam soal logika, dan juga metafisika.
6. Meskipun demikian, tindakan akal kecerdasan aktif ini tidak
berkesinambungan dan tidak juga konstan, ini tidaklah disebabkan oleh
adanya kepasifan (passivity) yang patut untuknya, tetapi oleh kenyataan
bahwa materi, dimana dia harus beroperasi, bisa saja mempunyai
keinginan atau kecendrungan untuk tidak puas menerima bentuk-bentuk
yang memancar dari padanya, karena beberapa rintangan atau yang
lainnya.68

Pungkasan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Farabi sebagai filosof
Islam yang pertama kali membawa wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia
mendirikan tonggak-tonggak filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh
filosof Islam yang lain. Gelar Guru Kedua terhadap dirinya membuktikan
keseriusannya dalam membina filsafat Islam walaupun harus berjuang keras
untuk itu. Walaupun pemikiran metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir
muslim belakangan seperti al-Ghazali.69 terutama dalam metafisika emanasi,
figur al-Farabi masih menarik untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam
bidang fisika, metafiska, ilmu politik, dan logika telah memberinya hak untuk
menempati posisi terkemuka yang tidak diragukan lagi diantara filosof-filosof
Islam.70

Catatan Akhir:
1 Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Nurcholish Islam (Jakarta : Bulan
Bintang,1984), h. 30
2 C. A Qadir, Philosophy and Science in Islamic World, terj. Yayasan Obor Indonesia
Filsafat dan Pengetahuan dalam Islam (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1991), h. 84
3 Mehdi Hairi Yazdi, ThePrinciples of Epistemology in Islamic Philosophy, Knowledge by
Presence, terj. Ahsin Muhammad, Ilmu Hudhuri Prinsip-prinsip Epistemology dalam
Filsafat Islam (Bandung : Mizan, 1994), h. 29.
4 Nadim al-Jisr, Qissatul Iman alih bahasa A.Hanafi, Kisah Mantjari Tuhan (Jakarta :
Bulan Bintang, 1966), Jilid I, h. 56
5 Mulyadi Kartanegara,Mozaik Intelektual Islam Bunga Rampai dari Chicago (Jakarta :
Paramadina, 2000), h. 33
6 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), h.
26
7 Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung :
Mizan,1997), h. 26
8 Abdullah Sidik, Islam dan Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984), h. 89
9 Paket Studi Islam VIII : Filsafat Islam (Jakarta : Paramadina, tt), h. 66
10 Ibrahim Madkour, “Al-Farabi” dalam MM. Syarif (Ed), History of Muslim Philosophy
alih bahasa Ilyas Hasan Para Filosof Muslim (Bandung : Mizan, 1992), h. 55
11 Zainal Abidin Ahmad, Negara Utama (Madinatul Fadhilah) (Jakarta : PT Kinta, 1968),
h. 13
12 JMW Bakker, Sejarah Filsafat dalam Islam (Yogyakarta : Kanisius, 1986), h. 13
13 Nurcholish Madjid, Khzanah, h. 30
14 Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy alih bahasa R. Mulyadi Kartanegara,
Sejarah Filsafat Islam (Jakarta : Pustaka Jaya, 1986), h.162
15 Dalam tradisi pemikiran filsafat di lingkungan pemikiran Muslim abad tengah, terdapat
seorang ahli logika dan filsafat Yunani yakni Abu Bishr Matta (870-940). Ia guru al-
Farabi. Abu Bishr Matta pernah berpolemik dengan seorang ahli agama
(mutakallimun/teolog) Muslim Abu Sa’id al-Sirafi (893-979). Mereka berbeda pendapat
tentang fungsi dan manfaat logika dan filsafat pada umumnya bagi dunia Islam yang
sedang dalam tahap memacu pertumbuhan dan pemekaran keilmuan.Lihat M. Amin
Abdullah, “Relevansi Studi Agama-agama dalam Melenium Ketiga” dalam Amin
Abdullah dkk, Mencari Islam Studi dengan Berbagai Pendekatan (Yogyakarta :Tiara
Wacana, 20000, h. 10
16 Ibrahim Madkhour, “Al-Farabi” , h. 57
17 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam,, h. 25-26.
18 Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam Sedjarah dan Perkembangannya di Dunia
Internasional (Jakarta : Bulan Bintang, 1964), h. 89
19 Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, h. 90
20 Seyyed Hossen Nasr, Theology, Philosopy, and Spirituality Word Spirituality alih bahasa
Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teolog, Filsafat dan Gnosis
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), 35
21 Osman Bakr, Hierarki Ilmu, h. 42.
22 M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1995), h. 151.
23 Ibrahim Madkhour, “al-Farabi”, h. 59
24 Mehdi Hairi Yazdi,The Principles, h. 39
25 Dia digelari Guru Kedua karena buku ini. Dalam bahasa Latin disebut De Scientiis diakui
sebagai klasifikasi pertama yang dikenal luas oleh kaum Muslimin. Usaha al-Kindi
dalam bidang ini kurang diketahui oleh generasi sesudahnya.Osman Bakar, Hierarki,h.
47.Edisi bahasa Indonesianya sebagian sudah diterjemahkan oleh Nurcholish Madjid.
Lihat Nurcholish Madjid, Khazanah, h. 121-133
26 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islamii, 28
27 C.A van Peursen, Filosofische Orientatiei alih bahasa Dick Hartoko, Orientasi di Alam
Filsafat (Jakarta : Gramedia, 1980), h. 1
28 Lorens Bagus, Metafisikai (Jakarta : Gramedia, 1991), h. 2-3
29 Dave Robinson dan Chri Barratt, Ethics for Beginner alih bahasa Agus Salim dan Faizah
Sari, Mengenal Etika (Bandung : Mizan, 1998), h. 4
30 K. Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta : Gramedia, 1987), h. 163
31 Rizal Mustansyir, “Postmodernisme : Aliran Filsafat atau Bukan”Makalah Diskusi
Filsafat Kontemporer Program Studi Ilmu Filsafat Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, 1993, h. 3
32 Dalam tradisi Barat, kritik epistemologis-metafisis berjalan wajar tanpa halangan dan
kecurigaan yang cukup berarti. Pergumulan antara pemikiran tradisi idealis dan tradisi
empiris berjalan sejak Plato dan Aristoteles diteruskan dan dikembangkan oleh David
Hume dan Immanuel Kant dan kemudian dilanjutkan hingga sekarang oleh kelompok
Frankfurt dengan kritik idologi. Ada sinergi dan dialektik antara wilayah epistemologi ke
etik dan metafisik, tidak hanya terhenti pada dataran epistemologi atau dataran etikmetafisik
semata tanpa mengenal wilayah lain. M Amin Abdullah, “Pemikiran Islam dan
Realitas Masyarakat” dalam Jurnal Penelitian Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
No. 5, 1993, h. 7-8
33 Abdulah Siddik, Islam dan Filsafati, h.91
34 Pemikir Yunani setelah Aristoteles seperti Epicuros (341-271 SM), Zeno (336-264 SM)
yang mendirikan Stoa. Alam pikiran yang terakhir ini sifatnya memperdalam peninjauan
masalah-masalah khusus dan banyak mengabaikan filsafat sebagi ilmu pokok. Filsafat
cendrung ke jalan mistik. Hatta, Alam Pikiran, h. 140
35 Ia merumuskan bahwa alam ini muncul dengan memancar (teori pancaran). Ia
mengatakan :Jagad raya beserta isinya mengalir dari yang Ilahi, yang laksana sebuah
sumber harus mengeluarkan segala sesuatu keluar, atau laksana terang harus bersinar
dari gelap. Oleh karena itu dunia dengan segala isinya sejak zaman kekal telah ada secara
terpendam di dalam Yang Ilahi. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah, h. 67
36 Majid Fakhry, A. History, h. 173
37 Osman Bakar, Hiererki Ilmu, h. 120
38 Paket Studi Islam VIII, H 67
39 Hampir tiap tulisan Harun menguraikan perintah al-Quran tentang perlunya berpikir;
banyak ayat-ayat yang berkait dengan ini.
40 Harun Nasution, “Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam” dalam Studia
Islamika, No. 4, Th. II, April-Juni 1977, h. 4
41 Harun Nasution, “Islam dan Ilmu Pengetahuan”, h. 44
42 Harun Nasution, “Perkembangan Ilmu Pengetahuan dalam Islam” dalam Studia Islamika,
No. 4, Th. II, April-Juni 1977, h. 4
43 Harun Nasution, “Kata Pengantar” dalam Saiful Muzani (Ed), Islam Rasional Gagasan
dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution (Bandung : Mizan, 1996), h. 7
44 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisime, h. 11
45 Harun Nasition, “Tinjauan Filosofis Tentang Pembentukan Kebudayaan dalam Islam”
dalam Abdul Basir Solissa (Ed), Al-Quran & Pembinaan Buidaya Dialog dan
Transformasi (Yogyakarta : LSFI, 1993), h. 23
46 Harun Nasution, “Pertemuan Filsafat dan Tasawuf dalam Peradaban Islam” dalam Saiful
Muzani (Ed), Islam Rasional, h. 354
47 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1992). h. 33
48 Fazlur Rahman, Islam (Bandung : Pustaka, 1984), h. 168
49 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h. 118
50 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h. 27
51 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme, h. 28
52 JMW. Bakker SY, Sejarah Filsafat, h. 35. Kalau dibanding dengan kosmologi modern
tentu saja gagasan ini harus dibaca ulang, karena fondasai teoritiknya sudah terbantah.
Namun sebagai eksplorasi metafisika ini merupakan bahan pengkajian yang selalu
menarik untuk ditelaah
53 Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam, h. 103
54 Osman Bakar, Tawhid and Science : Essasy on the History and Philosophy Of Islamic
Science alih bahasa Yuliani Liputo, Tauhid dan Sains Esai-esai tentang Sejarah dan
Filsafat Sains Islam (Jakarta : Pustaka Hidayah, 1994), h. 85
55 Ibid.
56 Majid Fakhri, A History , h. 163
57 CA Qadir, Philosophy and Science, h. 84
58 Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam (Jakarta : UI Press, 1986), h. 83
59 Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudhuri, h. 30
60 Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam, h. 103
61 Majid Fakhry, SA. History, h. 177
62 Nadim al-Jisr,Qissatul Iman, h. 58
63 Yunasril Ali, Perkembangan,43
64 JMW.Bakker, Sejarah Filsafat, h. 32
65 B. Delfgaauw, “Ontologia dan Metafisika” dalam Soejono Soemargono (Ed), Berpikir
Secara Kefilsafatan (Yogyakarta : Nur Cahaya, 1988), h. 23
66 Nurcholish Madjid, Khazanah, h. 31
67 Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, h. 91
68 Madjid Fakhry, A History, h. 181-183
69 Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Mesir : Dar al-Ma’arif, 1957). Dalam buku ini yang
dikritik al-Ghazali disamping al-Farabi juga Ibn Sina, disamping para filosof Yunani
70 Ibid, h. 165

DAFTAR PUSTAKA
M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam Di Era Postmodernisme (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1995).
Ahmad, Zainal Abidin, Negara Utama (Madinatul Fadilah) (Jakarta :
PT.Kinta, 1968).
Bagus, Lorens, Metafisika (Jakarta : Gramedia, 1991).
Bakker, JMW, Sejarah Filsafat dalam Islam (Yogyakarta : Kanisius, 1986).
Bakar, Osman, Tauhid and Science : Essasy on the History and Philosopy of
Islamic Science alih bahasa Yuliani Liputo, Tauhid dan Sains-esai
tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam (Jakarta : Pustaka Hidayat,
1994).
--------, Hierarki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung :
Mizan,1997).
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1992).
Delfgaauw,B, “Ontologi dan Metafisika” dalam Soejono Soemargono (Ed)
Berpikir Secara Kefilsafatan (Yogyakarta : Nur Cahaya, 1988).
Al-Jisr, Nadim, Qissatul Iman alih bahasa A. Hanafi, Kisah Mentjari Tuhan
(Jakarta : Bulan Bintang, 1966).
Fakhry, Majid, A History of Islamic Philsopy alih bahasa R. Mulyadi
Kartanegara Sejarah Filsafat Islam (Jakarta : Pustaka Jaya, 1987).
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Mesir : Dar al-Ma’arif, 1957).
Hoesin, Oemar Amin, Filsafat Islam Sejarah dan Perkembangannya dalam
Dunia Internasional (Jakarta : Bulan Bintang, 1964).
Kartanegara, Mulyadi, Mozaik Intelektual Islam Bunga Rampai dari Chicago
(Jakarta : Paramadina, 2000).
Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang,
1984).
Madkour, Ibrahim, “al-Farabi” dalam MM. Syarif (Ed), History of Muslim
Philosopy, alih bahasa Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim (Bandung :
Mizan, 1992).
Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan
Bintang, 1973).
------------, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta : UI Press, 1986).
Nasr, Seyyed Hossen, Theology, Philosopy, and Spirituality Word Spirituality
alih bahasa Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teolog,
Filsafat dan Gnosis (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996).
Peursen, CA Van, Filosofische Orientatiei alih bahasa Dick Hartoko,
Orientasi di Alam Filsafat (Jakarta : Gramedia, 1980),
Qadir, C.A, Philosophy and Science in Islamic World alih bahasa Yayasan
Obor Indonesia Filsafat dan Pengetahuan dalam Islam (Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, 1991),
Rahman, Fazlur, Islam (Bandung : Pustaka, 1984).
Siddik, Abdullah, Islam dan Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984).
Yazdi, Mehdi Hairi, The Principles of Epistemology in Islamic Philosopy,
Knowledge by Presence, alih bahasa Ahsin Muhammad, Ilmu Hudhuri
Prinsip-prinsip Epistemology dalam Filsafat Islam (Bandung : Mizan,
1994).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar