Pemikiran Metafiska
Al-Farabi
Abstract: Al-Farabi
is an outstanding Muslim philosopher. He is well
known as the second master. He learnt logic, politics, and
music. His
thought on metaphysics especially emanation has been studied
broadly
by scholars. Emanation theory that developed by al-Farabi,
although
regarded inappropriate with cosmonology theory, was an effort
to unite
religion and philosophy. Trough his thoughts, Al-Farabi, in
fact, tried to
strengthen the core of Islamic tenet, i.e. tauhid, even though
some
scholars denied because of religious reasons.
Keywords:
Yang Esa, Yang Banyak, wujud, Akal, Neo
Platonisme.
Pendahuluan
Al-Farabi adalah penerus tradisi
intelektual al-Kindi, tapi dengan
kompetensi, kreativitas,
kebebasan berpikir dan tingkat sofistikasi yang lebih
tinggi lagi. Jika al-Kindi
dipandang sebagai seorang filosof Muslim dalam arti
kata yang sebenarnya, Al-Farabi
disepakati sebagai peletak sesungguhnya
dasar piramida studi falsafah
dalam Islam yang sejak itu terus dibangun
dengan tekun.1 Ia
terkenal dengan sebutan Guru Kedua dan otoritas terbesar
setelah panutannya Aristoteles.2 Ia
termasyhur karena telah memperkenalkan
dokrin “Harmonisasi pendapat
Plato dan Aristoteles”.3 Ia mempunyai
kapasitas ilmu logika yang
memadai.4 Di kalangan pemikir Latin ia dikenal
sebagai Abu Nashr atau Abunaser.5
Riwayat Hidup
Ia
adalah Abu Nasr Muhammad al-Farabi lahir di Wasij, suatu
desa
di Farab (Transoxania) pada tahun 870 M.6 Al-Farabi dalam
sumber-sumber
Islam lebih akrab dikenal sebagai Abu Nasr.7 Ia
berasal
dari keturunan Persia. Ayahnya Muhammad Auzlagh adalah
seorang
Panglima Perang Persia yang kemudiaan menetap di
Damsyik8 Ibunya berasal dari Turki. Oleh karena itu
ia biasa disebut
orang
Persia atau orang Turki.9
Sebagai
pembangun sistem filsafat, ia telah membaktikan diri
untuk
berkontemplasi, menjauhkan diri dari dunia politik walaupun
menulis
karya-karya politik yang monumental. Ia meninggalkan
risalah
penting. Filsafatnya menjadi acuan pemikiran ilmiah bagi
dunia
Barat dan Timur, lama sepeninggalnya10 Al-Farabi hidup di
tengah
kegoncangan masyarakat dan politik Islam. Pemerintah pusat
Abbasiyah
di Baghdad sedang berada di dalam kekacauan di bawah
pimpinan
khalifah-khalifah Radli, Muttaqi, Mustakfi. Saat itu
bermunculan
negara-negara di daerah yang mengambil alih
kekuasaan.
11
Al-Farabi
dengan cemas hati melihat perpecahan khalifah dan
kemunduran
masyarakat Islam. Sebagaimana sudah disinggung di
atas,
ia tidak aktif dalam bidang politik, tetapi memberikan kontribusi
pemikiran
dengan menulis buku politik untuk memperbarui tata
negara.
Pembaruan itu menurutnya hanya dapat berhasil bila berakar
kokoh
dalam fondasi filsafat.12 Walaupun
al-Farabi merupakan ahli
metafiska
Islam yang pertama terkemuka namun ia lebih terkenal di
kalangan
kaum Muslimin sebagai penulis karya-karya filsafat politik.13
Para
ahli sepakat memberikan pujian yang tinggi kepadanya,
terutama
sebagai ahli logika yang masyhur dan juru bicara Plato dan
Aristoteles
pada masanya. Ia belajar logika keadaa Yuhanna ibn
Hailan
di Baghdad. Ia memperbaiki studi logika, meluaskan dan
melengkapi
aspek-aspek rumit yang telah ditinggalkan al-Kindi.14
Kehidupan
al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, yaitu pertama
bermula
dari sejak lahir sampai usia lima tahun. Pendidikan dasarnya
ialah
keagamaan dan bahasa; ia mempelajari fikh, hadis, dan tafsir al-
Qur’an.
Ia juga mempalajari bahasa Arab, Turki dan Persia.
Periode
kedua adalah periode usia tua dan kematangan
intelektual.
Baghdad merupakan tempat belajar yang terkemuka pada
abad
ke-4/10.Di sana ia bertemu dengan sarjana dari berbagai bidang,
diantaranya
para filosof dan penerjemah. Ia tertarik untuk
mempelajari
logika, dan diantara ahli logika paling terkemuka adalah
Abu
Bisyr Matta ibn Yunus.15 Untuk
beberapa lama ia belajar
dengannya.16 Baghdad merupakan kota yang pertama kali
dikunjunginya.
Di sini ia berada selama dua puluh tahun, kemudian
pindah
ke Damaskus. Di sini ia berkenalan dengan Gubernur Aleppo,
Saifuddaulah
al-Hamdani. Gubernur ini sangat terkesan dengan al-
Farabi,
lalu diajaknya pindah ke Aleppo dan kemudian mengangkat
al-Farabi
sebagai ulama istana.17
Kota
kesayangannya adalah Damaskus. Ia menghabiskan
umurnya
bukan di tengah-tengah kota, akan tetapi di sebuah kebun
yan
terletak di pinggir kota. Di tempat inilah ia kebanyakan mendapat
ilham
menulis buku-buku filsafat.18
Begitu
mendalam penyelidikanya tentang filsafat Yunani
terutama
mengenai filsafat Plato dan Aristoteles, sehingga ia digelari
julukan
Mu’alim Tsani (Guru Kedua), karena Guru Pertama diberikan
kepada
Aristoteles, disebabkan usaha Aristoteles meletakkan dasar
ilmu
logika yang pertama dalam sejarah dunia. 19
Al-Farabi
menunjukkan kehidupan spiritual dalam usianya
yang
masih sangat muda dan mempraktekkan kehidupan sufi. Ia juga
ahli
musik terbesar dalam sejarah Islam dan komponis beberapa irama
musik,
yang masih dapat didengarkan dalam perbendaharaan lagu
sufi
musik India.20 Orde
Maulawiyah dari Anatolia masih terus
memainkan
komposisinya sampai sekarang.21
Al-Farabi
telah mengarang ilmu musik dalam lima bagian.
Buku-buku
ini masih berupa naskah dalam bahasa Arab, akan tetapi
sebagiannya
sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis oleh D’Erlenger.
Teorinya
tentang harmoni belum dipelajari secara mendalam.
Pengetahuan
estetika al-Farabi bergandengan dengan kemampuan
logikanya.
Ia meninggal pada tahun 950 M dalam usia 80 tahun.
Karya-karyanya
Ia
meninggalkan sejumlah besar tulisan penting. Karya al-
Farabi
dapat dibagi menjadi dua, satu diantaranya mengenai logika
dan
mengenai subyek lain. Tentang logika al-Farabi mengatakan
bahwa
filsafat dalam arti penggunaan akal pikiran secara umum dan
luas
adalah lebih dahulu daripada keberadaan agama , baik ditinjau
dari
sudut waktu (temporal) maupun dari sudut logika.
Dikatakan
“lebih dahulu”dari sudut pandang waktu, karena al-Farabi
berkeyakinan
bahwa masa permulaan filsafat, dalam arti
penggunaan
akal secara luas bermula sejak zaman Mesir
Kuno
dan Babilonia, jauh sebelum Nabi Ibrahim dan
Musa.
Dikatakan lebih dahulu secara logika karena
semua
kebenaran dari agama harus dipahami dan dinyatakan, pada
mulanya
lewat cara-cara yang rasional, sebelum kebenaran itu diambil
oleh
para Nabi.22
Karya
al-Farabi tentang logika menyangkut bagian-bagian
berbeda
dari karya Aristoteles Organon, baik dalam bentuk komentar
maupun
ulasan panjang. Kebanyakan tulisan ini masih berupa naskah;
dan
sebagain besar naskah-naskah ini belum ditemukan. Sedang karya
dalam
kelompok kedua menyangkut berbagai cabang pengetahuan
filsafat,
fisika, matematika dan politik.23 Kebanyakan pemikiran yang
dikembangkan
oleh al-Farabi sangat berafiliasi dengan system
pemikiran
Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles.24 Diantara judul
karya
al-Farabi yang terkenal adalah :
1. Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da al-Thabi’ah
2. Ihsha’ al-Ulum 25
3. Kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah
4. Kitab Tahshil al-Sa’adah
5. ‘U’yun al-Masa’il
6. Risalah fi al-Aql
7. Kitab al-Jami’ bain Ra’y al-Hakimain : al-Aflatun wa Aristhu
8. Risalah fi Masail Mutafariqah
9. Al-Ta’liqat
10. Risalah fi Itsbat al-Mufaraqat 26
Pemikiran tentang Metafisika
Menyibukkan
diri di bidang filsafat bukanlah suatu kegiatan yang
hanya
dilakukan oleh segelintir orang saja, melainkan merupakan
salah
satu ciri kemanusiaan kita. Berfilsafat merupakan salah satu
kemungkinan
yang terbuka bagi setiap orang., seketika ia mampu
menerobos
lingkaran kebiasaan sehari-hari.27 Salah satu cabang filsafat
adalah
metafisika. Kebutuhan manusia akan metafisika merupakan
dorongan
yang muncul dari hidup manusia yang mempertanyakan
hakikat
kenyataan.28
Manusia
adalah produk masyarakat tertentu. Ia adalah anak
zamannya.
Manusia tidak membentuk diri sendiri. Opini-opini pribadi
dibentuk
oleh masyarakat tempat tinggalnya.29 Setiap pemikiran selalu
mewakili
zamannya dan hasil dialektika dengan sejarahnya. Hasilnya
terkadang
spekulatif dan terkadang pula hasil pengembangan
pemikiran
yang sudah ada. Diskusi tentang metafisika ini sudah
dimulai
dari masa Yunani Kuno yang mempersoalkan tentang being
atau
“yang ada”30
Heraklitos
dikritik oleh Parmanides,31 Plato
dikritik oleh
Aristoteles
(Guru Pertama).32 Heraklitos
berteori bahwa hakikat
kenyataan
adalah perubahan. Teori ini ditentang oleh Parmanides
yang
berpendapat bahwa hakikat kenyataan adalah yang tetap. Plato
berusaha
mengkomromikan wacana ini dengan cara mengakomodir
keduanya.
Baginya hakikat kenyataan adalah dua yaitu yang tetap
(alam
ide) dan yang berubah (alam nyata). Plato sendiri berpihak
kepada
alam yang tetap yaitu alam ide sebagai hakikat sesungguhnya
kenyataan.
Sedangkan alam yang berubah yaitu alam nyata hanyalah
bayangan
saja. Aristoteles murid Plato juga mencoba memecahkan
masalah
ini. Ia mengikuti pembagian kenyataan ini kepada dua yaitu
yang
tetap (form) dan yang berubah (matter). Aristoteles, berbeda
dengan
Plato, berpihak pada yang berubah. Dalam penyusunan logika
yang
terbagi kepada dua belas kategori pada hakikatnya ia membagi
kepada
dua yaitu esensi (satu kategori) dan aksidensi (11 kategori). Al-
Farabi
seperti Aristoteles membedakan antara materi dan bentuk.
Materi
merupakan kemungkinan, sedangkan bentuk yang
menentukan
kemungkinan itu. Sebagai contoh ia mengatakan bahwa
kayu
sebagai materi mengandung banyak kemungkinan: menjadi
kursi,
lemari dan sebagainya. Kemungkinan itu barulah terlaksana
menjadi
suatu kenyataan kalau diberi bentuk. Misalnya bentuk kursi,
lemari,
meja dan sebagainya.33
Ajaran
Aristoteles tentang materi-bentuk, berangkat dari ajaran
tentang
gerak. Gerak menurut Aristoteles ada dua macam, gerak
karena
perbuatan (aksi) seperti batu yang dilemparkan orang, dan
gerak
spontan menurut kodrat, seperti batu yang jatuh ke bawah.
Pengertian
gerak (Yunani –kinesis, Latin motus, Inggeris motion) bagi
Aristoteles
tidak sebagaimana pengertian modern ; perubahan lokal,
seperti
bergeraknya mobil dari suatu tempat ke tempat yang lain. Bagi
Aristoteles,
gerak juga berarti perubahan, dan perubahan dapat
dibedakan
dalam empat macam ; perubahan/gerak substansial, gerak
kuantitatif,
gerak kualitatif, dan gerak lokal.
Gerak
susbstansial adalah perubahan dari suatu substansi
menjadi
substansi lain, misalnya jika seekor anjing mati kemudian
berubah
menjadi bangkai, maka ia telah mengalami perubahan
substansial.
Atau mungkin juga bisa dikatakan kayu yang dibakar
kemudian
berubah menjadi abu. Gerak kuantitatif, yaitu perubahan
yang
terjadi pada kuantitasnya seperti dari satu menjadi dua, tiga dan
seterusnya,
atau dari kecil menjadi besar, seperti pohon kecil menjadi
besar.
Gerak kualitatif, jika kertas putih berubah warnanya
menjadi
kuning, atau bunga yang berwarna merah jingga kemudian
esok
harinya berubah menjadi layu, maka perubahan itulah yang
disebut
perubahan kualitatif. Gerak lokal, yaitu perpindahan dari
suatu
tempat ke tempat lain, misalnya pagi hari malas berada di
kamar
kemudian siang hari berada di ruang tamu.
Kemudian
Aristoteles menyusun logika yang merupakan
hukum-hukum
berpikir secara silogistis. Walaupun Aristoteles sudah
merekomendasikan
ke alam nyata namun dengan silogistis ini maka
dialektika
antara kenyataan dengan akal menjadi penting dan akal
lebih
merupakan penentu. Setelah Plato dan Aristoteles tidak ada
pemikir
genial yang muncul,34 Baru
lima abad kemudian muncul
Plotinus.35 Plotinus menerangkan kemunculan alam
dengan adanya
hirarcy of being.
Metafisika,
menurut al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian
utama
:
1. Bagian
yang berkenaan dengan eksistensi wujud-wujud, yaitu
ontologi.
2. Bagian
yang berkenaan dengan substansi-substansi material, sifat
dan
bilangannya, serta derajat keunggulannya, yang pada akhirnya
memuncak
dalam studi tentang “suatu wujud sempurna yang
tidak
lebih besar daripada yang dapat dibayangkan”, yang
merupakan
prinsip terakhir dari segala sesuatu yang lainnya
mengambil
sebagai sumber wujudnya, yaiu teologi.
3. Bagian
yang berkenaan dengan prinsip-prinsip utama demonstrasi
yang
mendasari ilmu-ilmu khusus.36
Ilmu
filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilahi)
karena
materi
subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki
peringkat
tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminology religius,
wujud
non fisik mengacu kepada Tuhan dan malaikat. Dalam
terminology
filosofis, wujud ini merujuk pada Sebab Pertama, sebab
kedua,
dan intelek aktif.37
Dalam
kajian metafisika salah satu tujuannya adalah untuk
menegakkan
tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar
dari
ajaran Islam. Segala yang ada selain Allah adalah makhluk,
diciptakan
(hadis). Tetapi bagaimana yang banyak keluar dari yang
Ahad memunculkan diskusi yang mendalam.38
Masuknya
filsafat Yunani ke dunia Islam tentu saja menimbulkan
berbagai
persoalan, karena para apparatus ilmu/ulama merespons
dengan
ilmu mereka masing-masing. Filsafat dan ilmu
pengetahuan
timbul sebagai produk pemikiran manusia. Akal
yang
dianugerahakan Tuhan kepada manusia itulah yang
menghasilkan
filsafat dan ilmu pengetahuan. Dalam kebudayaan
Yunani
dan Persia akal mempunyai kedudukan penting. Sementara di
dalam
Islam akal juga mempunyai kedudukan yang tinggi. Akal
mempunyai
kedudukan yang tinggi di dalam al-Quran dan Hadis.
Ayat
yang pertama turun memerintahkan umat untuk membaca yang
berarti
berpikir.39
Para
ulama Islam zaman klasik menyadari hal itu dan dengan
demikian
menghargai akal yang kedudukannya tinggi itu. Mereka
tidak
segan-segan mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan
filsafat
Yunani yang mereka jumpai di daerah-daerah Bizantium dan
Persia
yang jatuh ke bawah kekuasaan Islam.40 Seperti yang sudah
disinggung
di depan ini sejalan dengan kedudukan tinggi dari akal
yang
terdapat dalam peradaban Yunani yang dibawa Alexander Yang
Agung
ke Timur Tengah pada abad ke-IV SM.41 Karena itu ada mind
set yang sama.42
Persepsi yang sama ini bertemu dan
mempermudah
usaha
pemaduannya.43
Karena
ada platform atau mind set yang sama maka umat Islam
pada
masa Islam klasik tanpa beban mencoba untuk mengambil
filsafat
dan ilmu pengetahuan dari Yunani itu. Karena khazanah
Yunani
itu dalam bahasa Yunani maka dilaksanakan program
penerjemahan
ke dalam bahasa Arab. Pada mulanya buku-buku itu
diterjemahkan
ke dalam bahasa Siriac, bahasa ilmu pengetahuan di
Mesopotamia
pada saat itu. Kemudian ke dalam bahasa Arab dan
akhirnya
penerjemahan langsung ke dalam bahasa Arab.44
Pandangan
luas dari ulama zaman itu membuat para filosof
Islam
seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawaih, Ibn Tufail
dan
Ibn Rusyd dapat menerima filsafat Pytagoras, Plato, Aristoteles,
dan
lain-lain, walaupun sesungguhnya menurut Harun filosof-filosof
Yunani
itu bukan orang yang beragama, seperti yang dikenal dalam
Abrahamic Religion.
Filsafat mereka dengan mudah dapat disesuaikan
oleh
filosof-filosof Islam itu dengan ajaran dasar dalam al-Quran. Idea
Tertinggi
Plato, Penggerak Pertama Aristoteles, dan Yang Maha Satu
Plotinus
mereka identikkan dengan Allah SWT. Bahkan al-Farabi
berpendapat
bahwa Plotinus dan Aristoteles termasuk dalam jumlah
nabi-nabi
yang tidak disebutkan namanya dalam al-Quran. Oleh
karena
itu ia berusaha untuk mendamaikan filsafat Aristoteles dengan
gurunya
Plato.45
Sikap
yang apresiatif ini berbeda dengan sikap yang muncul
belakangan
yang beranggapan bahwa filsafat membawa kepada
kekafiran,
kemudian muncul pandangan mempelajari filsafat adalah
haram.46
Ada
bebera respons akan kedatangan filsafat Yunani ini.
Pertama,
respons yang sangat antusias di kalangan para filosof.
Kedua,
sikap yang gembira yaitu oleh para ahli Kalam. Mereka
menggunakan
metode-metode filsafat untuk ilmu kalam yang berguna
mempertahankan
akidah dari serangan musuh yang menggunakan
metode
filsafat Yunani. Ketiga, respos yang sangat kritis yaitu oleh
para
fukaha’ dan ahli bahasa yang tidak senang dengan kedatangan
filsafat
Yunani ini. Sedangkan sikap yang cenderung tenang adalah
para
sufi.
Dari
berbagai sikap ini tentu saja karena ada perbedaan
pandangan
tentang kebenaran yang dibawa oleh filsafat Yunani.
Karena
selama ini semenjak Rasulullah meninggal mereka hidup
dengan
mempedomani ajaran al-Qur’an dan Hadis. Para ahli Fikh
yang
menguasai mayoritas wacana umat merasa berkewajiban untuk
membela
pandangan al-Qur’an dan Hadis. Mereka berpendapat
bahwa
kebenaran hanyalah yang terdapat dalam al-Quran.
Titik
debat ini dikarenakan selama ini umat hanya mengenal
kebenaran
dengan paradigma wahyu sementara para filosof
membawa
pandangan tentang kebenaran dengan paradigma filsafat.
Menurut
Harun para filosof Islam mencurahkan pemikirannya untuk
menjelaskan
kepada masyarakat bahwa kebenaran yang dibawa
filsafat
sama dengan kebenaran yang dibawa oleh wahyu. Para
fukaha’
mendistorsi bahwa kebenaran hanya dalam interpretasi fikh.
Masuknya
anasir lain ke tubuh umat Islam tak terelakkan lagi
bagi
pemikir untuk memberikan pemecahan sesuai dengan kapasitas
masing-masing.
Al-Kindi memang telah berusaha menelaah wacana
Neo-Platonisme
akan tetapi ia belum secermat al-Farabi. Misalnya,
masalah
hubungan “Yang Esa” dengan “alam yang pluralis” ini
merupakan
masalah falsafi yang telah menjadi tema pembahasan
utama
dalam kalangan filosof Yunani. Masalah ini juga telah
menduduki
tempat yang khusus dalam pemikiran filosof Islam.
Dalam
filsafat Yunani, problema ini dibahas dalam tingkat
fisika,
sedangkan dalam filsafat Neo-Platonisme dan Islam, ia dikaji
sebagai
problema keagamaan. Kendati cara pengkajian masalah
tersebut
tidak berbeda dalam dua mazhab tersebut, namun tujuannya
tidak
sama. Dalam mazhab Neo-Platonisme dan filsafat Islam, tujuan
pembahasan
metafisika
adalah untuk membangun suatu sistem alam
semesta
yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal.
Dalam
sistem yang semacam ini, masalah hubungan “Yang Esa”
dengan
“pluralitas alamiah” ini merupakan titik berangkat atau dasar
utama
dalam membangun filsafat seluruhnya.47 Alam semesta
muncul
dari yang Esa dengan proses emanasi. Bertentangan dengan
dogma
ortodoks tentang penciptaan, filsafat Islam mengemukakan
doktrin
kekekalan alam. Doktrin emanasi digunakan untuk
menjelaskan
ini.48
Hierarki
wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :
1.
Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
2.
Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali
immaterial.
3.
Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
4.
Benda-benda bumi (teresterial).49
Dengan
filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan
bagaimana
yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat
Maha
Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak
berhajat
pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana
terjadinya
alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi
seperti
yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi.50
Proses
emanasi itu adalah sebagai berikut.
Tuhan
sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari
pemikiran
ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud
pertama
dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga
mempunyai
substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang
tak
bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama
dan
dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua.
Wujud
II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya
dan
dari situ timbul langit pertama.
Wujud
III/Akal II ------ Tuhan = Wujud IV/Akal Ketiga
------
dirinya = Bintang-bintang
Wujud
IV/Akal III ------ Tuhan = Wujud V/Akal Keempat
------
dirinya=Saturnus
Wujud
V/Akal IV ------ Tuhan =Wujud VI/Akal Kelima
------
dirinya=Jupiter
Wujud
VI/Akal V ------ Tuhan=Wujud VII/Akal Keenam
------
dirinya=Mars
Wujud
VII/AkalVI ------ Tuhan=Wujud VIII/Akal Ketujuh
------
dirinya=Matahari
Wujud
VIII/Akal VII ------ Tuhan=Wujud IX/Akal Kedelapan
------
dirinya=Venus
Wujud
IX/AkalVIII ------ Tuhan=Wujud X/Akal Kesembilan
------
dirinya=Mercury
Wujud
X/Akal IX ------ Tuhan=Wujud XI/Akal Kesepuluh
------
dirinyaBulan
Pada
pemikiran Wujud IX/Akal Kesepuluh ini berhenti terjadi
timbulnya
akal-akal .Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi
serta
roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat
unsur
api, udara, air dan tanah. 51 Sepuluh lingkaran geosentris yang
disusun
oleh al-Farabi berdasarkan sistem Ptolomeus.52 Teori ini
kemudian
dilanjutkan oleh Ibn Sina.53 Teori
pengetahuan dan juga
filsafat
manusia serta filsafat kenabian diturunkan dari teori emanasi
ini.
Dalam
risalahnya yang terkenal dengan klasifikasi ilmu
pengetahuan
berjudul Ihsha’ al-Ulum, al-Farabi memandang
kosmologi
sebagai cabang metafisika. Ia juga berpendapat bahwa
kosmologi
mungkin diturunkan dari prinsip-prinsip sains partikular.54
Al-Farabi
juga berpandangan bahwa penguasaan matematika tidak
dapat
dikesampingkan dalam upaya memiliki pengetahuan yang
tepat
mengenai pengetahuan-pengetahuan spiritual55 Kemampuan al-
Farabi
di bidang matematika inipun mendapatkan posisi terkemuka di
kalangan
filosof Islam.56
Sebagaimana
al-Kindi, al-Farabi juga berkeyakinan bahwa
antara
agama dan filsafat tidak ada pertentangan. Berbeda dengan al-
Kindi,
jika terdapat perbedaan antara akal dan wahyu maka al-Farabi
memilih
hasil akal sedangkan al-Kindi memilih wahyu.57 Menurut
pendapatnya
kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran hasil
spekulasi
filsafat hakikatnya satu, sungguhpun bentuknya berbeda.
Al-Farabi
merupakan filosof Islam pertama yang mengusahakan
keharmonisan
antara agama dan filsafat.
Dasar
yang dipakainya untuk itu dua. Pertama pengadaan
keharmonisan
antara filsafat Aristoteles dan Plato sehingga ia sesuai
dengan
dasar-dasar Islam dan kedua, pemberian tafsir rasional
terhadap
ajaran-ajaran Islam.58 Sikap
ini tentu untuk mendukung
apresiasi
terhadap pemikiran Yunani. Al-Farabi berkeyakinan bahwa
Aristoteles
secara kategoris telah menolak keberadaan ide-ide Plato,
tetapi
ketika Aristoteles tiba pada masalah teologi dan gagasan
tentang
“sebab pertama” alam semesta, dia menemukan dirinya
berhadapan
dengan masalah sulit menyangkut bentuk-bentuk
Ilahiyah,
yang eksistensinya, tak syak lagi mesti diperanggapkan
dalam
Akal Tertinggi Wujud Pertama.59
Eksplorasi
dari sikap ini nampak dari wacana tentang
ketauhidan.
Tentang Tuhan misalnya al-Kindi sebelumnya sudah
membicarakan
tentang Tuhan sebagai sebab pertama, akan tetapi ia
tidak
menerangkan bagaimana alam ini dijadikan. Al-Farabi
menjelaskan
hal ini dengan teori emanasi.60 Disini ia menjelaskan
munculnya
segala sesuatu dengan tidak melalui Kun Fayakun seperti
pemahaman
tradisional. Segala sesuatu dari Wujud Pertama dalam
suatu
cara yang sangat sistematis, dan dari sudut pandangan Islam
heterodok
(mengandung banyak bid’ah).61
Al-Farabi
membagi ilmu kepada dua, yaitu konsepsi
tasawwur mutlak dan konsep
yang disertai keputusan pikiran
(judgment-tasdiq).
Diantara konsep itu ada yang baru sempurna apabila
didahului
oleh yang sebelumnya sebagaimana tidak mungkin
menggambarkan
benda tanpa menggambarkan panjang, lebar dan
dalam
tiga dimensi. Konsep tersebut tidak mesti diperlukan pada
setiap
konsep, melainkan harus berhenti pada suatu konsep yang
penghabisan
yang tidak mungkin dibayangkan adanya konsep yang
sebelumnya,
seperti konsep tentang wujud, wajib dan mungkin.
Kesemuanya
ini tidak memerlukan adanya konsep yang sebelumnya,
karena
konsep-konsep tersebut adalah pengertian-pengertian yang
jelas
dan benar dan terdapat dalam pikiran.
Adapun
keputusan pikiran (judgment-tasdiq), maka diantaranya
ada
yang tidak bisa diketahui, sebelum diketahui hal-hal sebelumnya.
Seperti
pengetahuan bahwa alam ini baru. Untuk itu diperlukan
terlebih
dahulu adanya putusan bahwa alam ini tersusun, dan tiap
yang
tersusun berarti baru. Ini adalah hukum-hukum pikiran dasar
dan
yang jelas dalam akal, seperti halnya dengan hukum yang
mengatakan
bahwa keseluruhan lebih besar dari sebagian.
Kesemuanya
ini adalah pikiran-pikiran yang terdapat dalam akal dan
yang
bisa dikeluarkan sebagai pengingatan karena tidak ada sesuatu
yang
lebih terang dari padanya dan tidak perlu dibuktikan karena
sudah
jelas dengan sendirinya. Juga hukum-hukum tersebut
memberikan
keyakinan dan juga merupakan dasar aksioma.62
Ada
tiga hal pokok yang menjadi persoalan metafisika, yaitu ;
1. Segi
esensi (zat) dan eksistensi (wujud) sesuatu.
2. Pokok
utama segala yang maujud
3. Prinsip
utama tentang gerak dasar menurut ilmu pengetahuan.
Dalam
pandangan Aristoteles hakikat sesuatu terdiri dari
materi
(hule) dan bentuk (form). Materi tidak akan dapat diketahui
hakikatnya
kalau belum ada bentuknya. Namun antara materi dan
bentuk
tidak dapat dipisahkan. Misalnya papan tulis yang dibikin dari
kayu.
Kayu adalah materinya dan bangunan papan bersegi empat
itulah
bentuknya. Dengan adanya bentuk dapat diketahui hakikat.
Begitu
pula dengan kursi meja dan sebagainya memberi bentuk
kepada
materi kayu sesuai dengan apa yang kita lihat. Sepintas lalu
dapat
dikatakan bahwa bentuk berubah-ubah, tetapi sebenarnya
materilah
yang berubah-ubah dalam arti berubah untuk mendapatkan
bentuk-bentuk
tertentu.63
Dalam
Fushus al-Hikmah al-Farabi membedakan antara zat
(esensi)
dan wujud (eksistensi). Zat menanyakan apanya sesuatu,
wujud
adanya sesuatu. Terdapat dua macam zat ;Pertama yang wajib
ada.64 Aristoteles membagi obyek metafisika
kepada dua yaitu ; Yang
Ada
sebagai yang Ada dan Yang Ilahi. Pengaruh Aristoteles kepada al-
Farabi
kelihatan. Pembahasan mengenai yang ada, yang ada dalam
keadaannya
yang wajar, menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan
semacam
ini berusaha untuk memahami yang ada itu dalam bentuk
semurni-murninya.
Dalam
hal ini yang penting ialah bukannya apakah yang ada
itu
dapat terkena oleh perubahan atau tidak, bersifat jasmani atau
tidak
melainkan apakah barang sesuatu itu memang sungguhsungguh
ada.
Jika kita ikuti cara berpikir demikian berarti kita akan
sampai
pada pendapat bahwa hanya Tuhanlah yang sungguhsungguh
ada,
dalam arti kata yang semutlak-mutlaknya, artinya yang
tidak
tergantung pada hal-hal lain. Segala sesuatu yang lainnya
mempunyai
nilai nisbi.65 Dasar
piramida falsafah yang diletakkan
dengan
kukuh oleh al-Farabi ini segera dilanjutkan pembangunannya
oleh
para penerusnya, dan karya-karya Guru Kedua ini
mempersiapkan
kondisi dunia pemikiran Islam untuk mengalami
sekali
lagi serbuan Hellenisme yang semakin dahsyat.66
Al-Farabi
seperti Aristoteles membedakan antara materi (zat)
dan
bentuk (shurah). Materi sendiri berupa kemungkinan. Sebagai
contoh
ia mengemukakan : Kayu sebagai materi mengandung banyak
kemungkinan,
mungkin menjadi kursi, lemari dan sebagainya.
Kemungkinan
itu baru terlaksana jika sudah menjadi kenyataan kalau
diberi
bentuk, misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainya.
Dengan
cara berpikir demikian, al-Farabi mengecam pandangan para
ahli
tafsir pada zamannya. Ciri rasionalismenya jelas terlihat dari jalan
pikirannya
yang mengatakan, bahwa suatu kesimpulan yang diambil
di
atas dasar-dasar yang kokoh adalah lebih berhak untuk hidup
daripada
kepercayaan taklid seluruh umat Islam yang sama sekali
tidak
didasari oleh
dalil-dalil.67 Jadi argumentasi itu penting sekali dari
pada hanya mengandalkan emosi
keagamaan semata-mata seperti yang
banyak terjadi di kalangan umat
Islam.
Dalam risalahnya al-Farabi
membedakan enam macam akal budi.
1. Akal budi pada umumnya
dikatakan sebagai yang masuk akal
(reasonable) dan utama
dalam bahasa (percakapan) sehari-hari dan yang
disebut oleh Aristoteles
phironesis (al-ta’aqqul).
2. Akal budi yang dinyatakan oleh
para teolog sebagai yang memerintah atau
larangan tindakan-tindakan umum
tertentu dan yang sebagian identik
dengan pikiran sehat (common
sense- indria bersama).
3. Akal budi yang oleh
Aristoteles digambarkan dalam Analytica Posteriora
sebagai kecakapan memahami
prinsip-prinsip primer demonstrasi, secara
instingtif dan intuitif.
4. Akal budi yang berakar dalam
pengalaman. Akal budi ini memungkinkan
kita dapat mengambil keputusan
secara jitu (tanpa salah), melalui
kecakapan intuitif, mengenai
prinsip-prinsip dari benar dan salah.
5. Akal budi yang dapat diambil
rujukannya dalam De Anima yang dikarang
oleh Aristoteles, seorang pemikir
yang berpengaruh ke dalam dirinya
terutama dalam soal logika, dan
juga metafisika.
6. Meskipun
demikian, tindakan akal kecerdasan aktif ini tidak
berkesinambungan dan tidak juga
konstan, ini tidaklah disebabkan oleh
adanya kepasifan (passivity) yang
patut untuknya, tetapi oleh kenyataan
bahwa materi, dimana dia harus
beroperasi, bisa saja mempunyai
keinginan atau kecendrungan untuk
tidak puas menerima bentuk-bentuk
yang memancar dari padanya,
karena beberapa rintangan atau yang
lainnya.68
Pungkasan
Dari pemaparan di atas dapat
disimpulkan bahwa al-Farabi sebagai filosof
Islam yang pertama kali membawa
wacana filsafat secara lebih mendalam. Ia
mendirikan tonggak-tonggak
filsafat Islam yang kemudian banyak diikuti oleh
filosof Islam yang lain. Gelar
Guru Kedua terhadap dirinya membuktikan
keseriusannya dalam membina
filsafat Islam walaupun harus berjuang keras
untuk itu. Walaupun pemikiran
metafisikanya banyak dikritik oleh pemikir
muslim belakangan seperti al-Ghazali.69 terutama
dalam metafisika emanasi,
figur al-Farabi masih menarik
untuk didiskusikan. Sumbangannya dalam
bidang fisika, metafiska, ilmu
politik, dan logika telah memberinya hak untuk
menempati posisi terkemuka yang
tidak diragukan lagi diantara filosof-filosof
Islam.70
Catatan Akhir:
1 Nurcholis Madjid, Khazanah
Intelektual Nurcholish Islam (Jakarta : Bulan
Bintang,1984), h. 30
2 C. A Qadir, Philosophy and
Science in Islamic World, terj. Yayasan Obor Indonesia
Filsafat dan
Pengetahuan dalam Islam (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1991), h. 84
3 Mehdi Hairi Yazdi, ThePrinciples
of Epistemology in Islamic Philosophy, Knowledge by
Presence, terj. Ahsin
Muhammad, Ilmu Hudhuri Prinsip-prinsip Epistemology dalam
Filsafat Islam (Bandung :
Mizan, 1994), h. 29.
4 Nadim al-Jisr, Qissatul Iman alih
bahasa A.Hanafi, Kisah Mantjari Tuhan (Jakarta :
Bulan Bintang, 1966), Jilid I, h.
56
5 Mulyadi Kartanegara,Mozaik
Intelektual Islam Bunga Rampai dari Chicago (Jakarta :
Paramadina, 2000), h. 33
6 Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), h.
26
7 Osman Bakar, Hierarki Ilmu
Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung :
Mizan,1997), h. 26
8 Abdullah Sidik, Islam dan
Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984), h. 89
9 Paket Studi
Islam VIII : Filsafat Islam (Jakarta : Paramadina, tt), h. 66
10 Ibrahim Madkour, “Al-Farabi”
dalam MM. Syarif (Ed), History of Muslim Philosophy
alih bahasa Ilyas Hasan Para
Filosof Muslim (Bandung : Mizan, 1992), h. 55
11 Zainal Abidin Ahmad, Negara
Utama (Madinatul Fadhilah) (Jakarta : PT Kinta, 1968),
h. 13
12 JMW Bakker, Sejarah Filsafat
dalam Islam (Yogyakarta : Kanisius, 1986), h. 13
13 Nurcholish Madjid, Khzanah,
h. 30
14 Majid Fakhry, A History of
Islamic Philosophy alih bahasa R. Mulyadi Kartanegara,
Sejarah Filsafat
Islam (Jakarta
: Pustaka Jaya, 1986), h.162
15 Dalam tradisi pemikiran filsafat
di lingkungan pemikiran Muslim abad tengah, terdapat
seorang ahli logika dan filsafat
Yunani yakni Abu Bishr Matta (870-940). Ia guru al-
Farabi. Abu Bishr Matta pernah
berpolemik dengan seorang ahli agama
(mutakallimun/teolog) Muslim Abu
Sa’id al-Sirafi (893-979). Mereka berbeda pendapat
tentang fungsi dan manfaat logika
dan filsafat pada umumnya bagi dunia Islam yang
sedang dalam tahap memacu
pertumbuhan dan pemekaran keilmuan.Lihat M. Amin
Abdullah, “Relevansi Studi
Agama-agama dalam Melenium Ketiga” dalam Amin
Abdullah dkk, Mencari Islam
Studi dengan Berbagai Pendekatan (Yogyakarta :Tiara
Wacana, 20000, h. 10
16 Ibrahim Madkhour, “Al-Farabi” ,
h. 57
17 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat
Islam,, h. 25-26.
18 Oemar Amin Hoesin, Filsafat
Islam Sedjarah dan Perkembangannya di Dunia
Internasional (Jakarta : Bulan
Bintang, 1964), h. 89
19 Abdullah Siddik, Islam dan
Filsafat, h. 90
20 Seyyed Hossen Nasr, Theology,
Philosopy, and Spirituality Word Spirituality alih bahasa
Suharsono dan Djamaluddin MZ, Intelektual
Islam Teolog, Filsafat dan Gnosis
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1996), 35
21 Osman Bakr, Hierarki Ilmu,
h. 42.
22 M. Amin Abdullah, Falsafah
Kalam Di Era Postmodernisme (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1995), h. 151.
23 Ibrahim Madkhour, “al-Farabi”, h.
59
24 Mehdi Hairi Yazdi,The
Principles, h. 39
25 Dia digelari Guru Kedua karena
buku ini. Dalam bahasa Latin disebut De Scientiis diakui
sebagai klasifikasi pertama yang
dikenal luas oleh kaum Muslimin. Usaha al-Kindi
dalam bidang ini kurang diketahui
oleh generasi sesudahnya.Osman Bakar, Hierarki,h.
47.Edisi bahasa Indonesianya
sebagian sudah diterjemahkan oleh Nurcholish Madjid.
Lihat Nurcholish Madjid, Khazanah,
h. 121-133
26 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat
Islamii, 28
27 C.A van Peursen, Filosofische
Orientatiei alih bahasa Dick Hartoko, Orientasi di Alam
Filsafat (Jakarta :
Gramedia, 1980), h. 1
28 Lorens Bagus, Metafisikai (Jakarta
: Gramedia, 1991), h. 2-3
29 Dave Robinson dan Chri Barratt, Ethics
for Beginner alih bahasa Agus Salim dan Faizah
Sari, Mengenal Etika (Bandung
: Mizan, 1998), h. 4
30 K. Bertens, Panorama Filsafat
Modern (Jakarta : Gramedia, 1987), h. 163
31 Rizal Mustansyir, “Postmodernisme
: Aliran Filsafat atau Bukan”Makalah Diskusi
Filsafat Kontemporer Program
Studi Ilmu Filsafat Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, 1993, h.
3
32 Dalam tradisi Barat, kritik
epistemologis-metafisis berjalan wajar tanpa halangan dan
kecurigaan yang cukup berarti.
Pergumulan antara pemikiran tradisi idealis dan tradisi
empiris berjalan sejak Plato dan
Aristoteles diteruskan dan dikembangkan oleh David
Hume dan Immanuel Kant dan
kemudian dilanjutkan hingga sekarang oleh kelompok
Frankfurt dengan kritik idologi.
Ada sinergi dan dialektik antara wilayah epistemologi ke
etik dan metafisik, tidak hanya
terhenti pada dataran epistemologi atau dataran etikmetafisik
semata tanpa mengenal wilayah
lain. M Amin Abdullah, “Pemikiran Islam dan
Realitas Masyarakat” dalam Jurnal
Penelitian Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
No. 5, 1993, h. 7-8
33 Abdulah Siddik, Islam dan
Filsafati, h.91
34 Pemikir Yunani setelah
Aristoteles seperti Epicuros (341-271 SM), Zeno (336-264 SM)
yang mendirikan Stoa. Alam
pikiran yang terakhir ini sifatnya memperdalam peninjauan
masalah-masalah khusus dan banyak
mengabaikan filsafat sebagi ilmu pokok. Filsafat
cendrung ke jalan mistik. Hatta, Alam
Pikiran, h. 140
35 Ia merumuskan bahwa alam ini
muncul dengan memancar (teori pancaran). Ia
mengatakan :Jagad raya beserta
isinya mengalir dari yang Ilahi, yang laksana sebuah
sumber harus mengeluarkan segala
sesuatu keluar, atau laksana terang harus bersinar
dari gelap. Oleh karena itu dunia
dengan segala isinya sejak zaman kekal telah ada secara
terpendam di dalam Yang Ilahi.
Harun Hadiwijono, Sari Sejarah, h. 67
36 Majid Fakhry, A. History,
h. 173
37 Osman Bakar, Hiererki Ilmu,
h. 120
38 Paket Studi
Islam VIII, H
67
39 Hampir tiap tulisan Harun
menguraikan perintah al-Quran tentang perlunya berpikir;
banyak ayat-ayat yang berkait
dengan ini.
40 Harun Nasution, “Perkembangan
Ilmu Pengetahuan dalam Islam” dalam Studia
Islamika, No. 4, Th. II,
April-Juni 1977, h. 4
41 Harun Nasution, “Islam dan Ilmu
Pengetahuan”, h. 44
42 Harun Nasution, “Perkembangan
Ilmu Pengetahuan dalam Islam” dalam Studia Islamika,
No. 4, Th. II, April-Juni 1977,
h. 4
43 Harun Nasution, “Kata Pengantar”
dalam Saiful Muzani (Ed), Islam Rasional Gagasan
dan Pemikiran
Prof. Dr. Harun Nasution (Bandung : Mizan, 1996), h. 7
44 Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisime, h. 11
45 Harun Nasition, “Tinjauan
Filosofis Tentang Pembentukan Kebudayaan dalam Islam”
dalam Abdul Basir Solissa (Ed), Al-Quran
& Pembinaan Buidaya Dialog dan
Transformasi (Yogyakarta :
LSFI, 1993), h. 23
46 Harun Nasution, “Pertemuan
Filsafat dan Tasawuf dalam Peradaban Islam” dalam Saiful
Muzani (Ed), Islam Rasional,
h. 354
47 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat
Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1992). h. 33
48 Fazlur Rahman, Islam (Bandung
: Pustaka, 1984), h. 168
49 Osman Bakar, Hierarki Ilmu, h.
118
50 Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisisme, h. 27
51 Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisisme, h. 28
52 JMW. Bakker SY, Sejarah
Filsafat, h. 35. Kalau dibanding dengan kosmologi modern
tentu saja gagasan ini harus
dibaca ulang, karena fondasai teoritiknya sudah terbantah.
Namun sebagai eksplorasi
metafisika ini merupakan bahan pengkajian yang selalu
menarik untuk ditelaah
53 Oemar Amin Hoesin, Filsafat
Islam, h. 103
54 Osman Bakar, Tawhid and
Science : Essasy on the History and Philosophy Of Islamic
Science alih bahasa
Yuliani Liputo, Tauhid dan Sains Esai-esai tentang Sejarah dan
Filsafat Sains
Islam (Jakarta
: Pustaka Hidayah, 1994), h. 85
55 Ibid.
56 Majid Fakhri, A History ,
h. 163
57 CA Qadir, Philosophy and
Science, h. 84
58 Harun Nasution, Akal dan Wahyu
Dalam Islam (Jakarta : UI Press, 1986), h. 83
59 Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu
Hudhuri, h. 30
60 Oemar Amin Hoesin, Filsafat
Islam, h. 103
61 Majid Fakhry, SA. History,
h. 177
62 Nadim al-Jisr,Qissatul Iman,
h. 58
63 Yunasril Ali, Perkembangan,43
64 JMW.Bakker, Sejarah Filsafat,
h. 32
65 B. Delfgaauw, “Ontologia dan
Metafisika” dalam Soejono Soemargono (Ed), Berpikir
Secara
Kefilsafatan (Yogyakarta
: Nur Cahaya, 1988), h. 23
66 Nurcholish Madjid, Khazanah,
h. 31
67 Abdullah Siddik, Islam dan
Filsafat, h. 91
68 Madjid Fakhry, A History,
h. 181-183
69 Al-Ghazali, Tahafut
al-Falasifah (Mesir : Dar al-Ma’arif, 1957). Dalam buku ini yang
dikritik al-Ghazali disamping
al-Farabi juga Ibn Sina, disamping para filosof Yunani
70 Ibid, h. 165
DAFTAR PUSTAKA
M. Amin Abdullah, Falsafah
Kalam Di Era Postmodernisme (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 1995).
Ahmad, Zainal Abidin, Negara
Utama (Madinatul Fadilah) (Jakarta :
PT.Kinta, 1968).
Bagus, Lorens, Metafisika (Jakarta
: Gramedia, 1991).
Bakker, JMW, Sejarah Filsafat
dalam Islam (Yogyakarta : Kanisius, 1986).
Bakar, Osman, Tauhid and
Science : Essasy on the History and Philosopy of
Islamic Science alih bahasa
Yuliani Liputo, Tauhid dan Sains-esai
tentang Sejarah
dan Filsafat Sains Islam (Jakarta : Pustaka Hidayat,
1994).
--------, Hierarki Ilmu
Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (Bandung :
Mizan,1997).
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat
Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1992).
Delfgaauw,B, “Ontologi dan
Metafisika” dalam Soejono Soemargono (Ed)
Berpikir Secara
Kefilsafatan (Yogyakarta
: Nur Cahaya, 1988).
Al-Jisr, Nadim, Qissatul Iman
alih bahasa A. Hanafi, Kisah Mentjari Tuhan
(Jakarta : Bulan Bintang, 1966).
Fakhry, Majid, A History of
Islamic Philsopy alih bahasa R. Mulyadi
Kartanegara Sejarah Filsafat
Islam (Jakarta : Pustaka Jaya, 1987).
Al-Ghazali, Tahafut
al-Falasifah (Mesir : Dar al-Ma’arif, 1957).
Hoesin, Oemar Amin, Filsafat
Islam Sejarah dan Perkembangannya dalam
Dunia
Internasional (Jakarta
: Bulan Bintang, 1964).
Kartanegara, Mulyadi, Mozaik
Intelektual Islam Bunga Rampai dari Chicago
(Jakarta : Paramadina, 2000).
Madjid, Nurcholish, Khazanah
Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang,
1984).
Madkour, Ibrahim, “al-Farabi”
dalam MM. Syarif (Ed), History of Muslim
Philosopy, alih bahasa
Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim (Bandung :
Mizan, 1992).
Nasution, Harun, Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam (Jakarta : Bulan
Bintang, 1973).
------------, Akal dan Wahyu
dalam Islam (Jakarta : UI Press, 1986).
Nasr, Seyyed Hossen, Theology,
Philosopy, and Spirituality Word Spirituality
alih bahasa Suharsono dan
Djamaluddin MZ, Intelektual Islam Teolog,
Filsafat dan
Gnosis (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 1996).
Peursen, CA Van, Filosofische
Orientatiei alih bahasa Dick Hartoko,
Orientasi di
Alam Filsafat (Jakarta
: Gramedia, 1980),
Qadir, C.A, Philosophy and
Science in Islamic World alih bahasa Yayasan
Obor Indonesia Filsafat dan
Pengetahuan dalam Islam (Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, 1991),
Rahman, Fazlur, Islam (Bandung
: Pustaka, 1984).
Siddik, Abdullah, Islam dan
Filsafat (Jakarta : Triputra Masa, 1984).
Yazdi, Mehdi Hairi, The
Principles of Epistemology in Islamic Philosopy,
Knowledge by
Presence, alih
bahasa Ahsin Muhammad, Ilmu Hudhuri
Prinsip-prinsip
Epistemology dalam Filsafat Islam (Bandung : Mizan,
1994).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar