Selasa, 01 Mei 2012

Imam Al-Ghazali (Kritik Terhadap Para Filosof)


 Imam Al-Ghazali (Kritik Terhadap Para Filosof)



1.   PENDAHULUAN
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke penjuru dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Bahkan, mungkin kebanyakan kaum muslimin belum mengerti.
Pengaruh filsafat Imam Ghozali begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi kritikan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut al-Falasifah yang membongkar kejelekan filsafat[1]. Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan Aristoteles, bahkan juga filsafat Ibnu Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya, bahkan kacau (tahafut). Menurut Imam Ghozali dalam filsafat ada yang bertentangan dengan ajaran agama dan mengkafirkan sebagian pemikiran mereka.Kritikan Imam al-Ghazali dipaparkan secara rinci dalam kitab Tahafut al-Falasifah (kekacauan para filosof). Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya dalam dunia filsafat.

2.   BIOGRAFI  SINGKAT  IMAM GHOZALI
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali[2]. Al-Ghazali lahir di Thus bagian dari kota Kurasan, Irak pada 450 H (1056 M). Diperkirakan Al-Ghozali, hidup dalam suasana kesederhanaan sufi tersebut sampai usia 15 tahun (450-465 H).
Dalam perkembangannya Imam Al-Ghazali lebih dikenal sebagai ulama thasawuf dan aqidah. Oleh sebab itu sumbangannya terhadap bidang falsafah dan ilmu pengetahuan lain tidak boleh dinafikan. Al-Ghazali merupakan seorang ahli Sufi yang bergelar "Hujjatul Islam". Al-Ghazali telah dilantik sebagai Mahaguru Universitas Baghdad pada tahun 488 H (1095 M).  Al-Ghozali mengunjungi kota kelahirannya, Thus disini pun ia tetap berkhalwat. Keadaan berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah ia menulis karyanya yang terbesar ihyaUlumudin. Dalam kitab tersebut, Imam Al -Ghazali mengatakan bahwa ilmu agamalah yang wajib dipelajari secara pribadi oleh para muslimin. Sementara ilmu dunia, hanyalah fardhu kifayah. Beliau juga mengarang kitab Tahafut al-Falasifah yang menjelaskan tentang kerancuan-kerancuan dalam dunia filsafat. Imam Ghozali yang bergelar Hujjatul Islam meninggal dikota kelahirannya Thus pada hari Senin 14 Jumadil Akhir 505 H/111 M.

3.      PEMIKIRAN IMAM GHOZALI
Al-Ghozali, sebagaimana halnya para penganut aliran al-Asy’ariyah menyelaraskan akal dengan naql. Ia berpendapat bahwa  akal harus digunakan sebagai penopang, karena ia bisa mengetahui dirinya sendiri dan bisa mempersepsikan benda lain, yang jika lepas dari sumbat angan-angan dan khayalan maka ia bisa mempersepsi benda-benda secara hakiki. Namun al-Ghozali menghentikan akal pada batas-batas tertentu, dan hanya naql-lah yang bisa melewati batas-batas ini. Mengenai problematika sifat-sifat (Allah), al-Ghozali memegang pendapat yang dianut oleh al-Asy’ari, sehingga ia tidak menerima pendapat yang dikemukakan oleh aliran Hasywiah[3] maupun Mu’tazilah[4], karena kedua aliran ini ekstrim. Yang paling baik adalah tengah-tengah[5].
Menurut al-Ghozali, Allah adalah satu-satunya sebab bagi alam. Alam Ia ciptakan dengan kehendak dan kekuasaan-Nya, karena kehendak Allah adalah sebab bagi segala yang ada (al-Maujudat). Sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu. Sebab-sebab alami hanyalah korelasi waktu antara benda-benda. Nampak jelas bahwa al-Ghozali mengagumi pemecahan masalah melihat Allah yang dikemukakan oleh al-Asy’ari, pemecahan ini ia tingkatkan dengan cara menafsirkan melihat Allah itu sebagai suatu corak pengetahuan.[6]

4.      KRITIK AL-GHOZALI TERHADAP PARA FILOSOF
Kritik Al-Ghazali atas metafisika sebenarnya meliputi kritiknya terhadap Islamic Aristotelianism (pemikirannya filosof Muslim yang dipengaruhi oleh Aristoteles yang diformulasikan dengan baik oleh Al-Farabi dan Ibn Sina) yang berkembang menjadi teologi rasional berdasarkan metafisika Aristoteles[7].
Karena teologi ini bersifat rasional, salah satu asumsi dasarnya adalah bahwa rasio manusia mampu menyelesaikan sebagian besar dari persoalan-persoalan teologi. Asumsi inilah sesungguhnya yang ingin ditolak oleh Al-Ghazali; dan penolakan ini, sebagaimana terjadi, melibatkan pembuktian kesalahan asumsi-asumsi tersebut secara rasional. Jika ini dapat diperlihatkan, kita tidak lagi dapat mempercayai akal pikiran manusia dalam usaha ini; dan sebaliknya kita mesti menolak metafisika rasional dan menggunakan bantuan Wahyu untuk pengetahuan semacam itu.[8]
Metafisika Rasional Emanatif
Al-Farabi dan Ibnu Sina, selaku Muslim, tidak menolak bahwa Tuhan adalah pencipta abadi alam dan semesta, tetapi mereka percaya bahwa aktivitas Tuhan hanya mencakup memunculkan dalam keadaan aktualitas kemungkinan-kemungkinan yang sebetulnya inheren dalam materi pertama yang dinyatakan sebagai abadi bersama Tuhan.  Inisesuai dengan pemahaman Aristotelian tentang perubahan, bukan sebagai jalan pintas dari tidak ada menjadi ada , akan tetapi, sebagai proses melalui apa yang disebut “wujud potensial” berkembangmelalui “bentuk” menuju “wujud aktual”.  Oleh karena itu, Tuhan selaku pencipta abadi konstan mengombinasikan materi dengan bentuk-bentuk baru; Dia tidak menciptakan alam semesta muncul dari ketiadaan belaka pada saat tertentu pada masa lampau. Sebagai akibat logisnya, mereka percaya pada keabadian waktu.[9]
Sebaliknya Al-Ghazali, sesuai dengan ajaran nyata dari Al-Qur’an, secara ketat berpegang pada posisi bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan muncul dari ketiadaan mutlak.  Pada saat tertentu pada masa lampau dengan interval terbatas dari masa sekarang. Tuhan tidak hanya menciptakan forma, tetapi juga materi dan waktu bersama keduanya, yang memiliki permulaan tertentu dan oleh karenanya bersifat terbatas.[10]
Keabadian Dunia
Al-Ghazali menolak menggunakan asumsi-asumsi yang dinyatakan oleh falasifah dan memperlihatkan bahwa mempercayai asal-usul dunia dari kehendak Tuhan yang abadi dalam waktu tertentu sesuai dengan pilihan-Nya sama sekali tidak melanggar prinsip-prinsip fundamental logika.  Sedangkan asumsi falasifah bahwa efek memiliki sebab dan bahwa suatu sebab merupakan kekuatan di luar efek yang disebabkan, tidak memiliki pemaksaan logis tentang hal itu. Adalah sah untuk percaya bahwa kehendak Tuhan memperlakukan suatu sebab atau setidak-tidaknya bahwa sebab tersebut tidak terletak di luar, tetapi di dalam kehendak-Nya. Adalah mungkin untuk berpikir bahwa kehendak Tuhan bersifat abadi dan objek dari kehendak tersebut telah terjadi pada saat tertentu dalam waktu. Di sini harus dibuat pembeda antara keabadian objek dari kehendak Tuhan. Oleh karenanya secara logis bukan tidak sah untuk menegaskan keyakinan ortodoks bahwa Tuhan secara azali berkehendak bahwa dunia harus terwujud secara demikian dan pada saat tertentu dalam waktu.[11]
Namun, titik pijak Al-Ghazali sesungguhnya adalah bahwa Tuhan pantas saja menetapkan secara bebas suatu saat tertentu lebih utama dari saat yang lain  untuk mewujudkan dunia.  Kehendak Tuhan sepenuh nyata dibatasi. Kehendak-Nya tidak bergantung kepada pembeda-pembedaan di dunia luar, karena kehendak itu sendirilah sumber dari segala pembedaan tersebut. Tuhan memilih saat tertentu  bagi penciptaan alam semesta.Tidak ada cara untuk menjelaskan pilihan Tuhan dalam hal apapun.
Teori Emanasi
Kritik Al-Ghazali terhadap argument emanasionistik mengandung penjelasan bahwa argument tersebut, di satu sisi gagal memberi gambaran tentang keanekaragaman dan keteraturan di alam semesta, disisi lain tidak melakukan  yang terbaik dalam membela keesaan Tuhan yang mutlak.  Jika formulasi yang diamati dengan lancar sering diulang-ulang bahwa “dari satu hanya satu yang muncul ” harus diamati secara logika, seluruh wujud dunia akan terdiri dari unit-unit.  Setiap unit akan menjadi efek dari unit lain di atasnya dan akan menjadi sebab bagi unit lain di bawahnya menurut model linear.  Namun, dalam kenyataan tidak demikian. Menurut falasifah, setiap objek setidaknya tersusun dari forma dan materi. Bagaimana benda yang tersusun (berkomposisi) kemudian terwujud ? Apakah dia hanya memiliki satu sebab ? Jika jawabannya afirmatif, maka pernyataan bahwa “dari satu hanya satu yang muncul” itu batal dan tidak berarti lagi. Sebaliknya, jika benda berkomposisi memiliki sebab gabungan, maka persoalan yang sama akan terulang kembali begitu seterusnya hingga pada titik yang majemuk secara niscaya bertemu dengan sederhana.  Kontak antara efek majemuk dan sebab tunggal di mana saja dia terjadi akan membuktikan kesalahan prinsip tersebut.  Jadi, Seluruh maujud di alam semesta ditandai dengan ketersusunan dan hanya Prinsip pertama, yakni Tuhan sendiri, yang dapat dikatakan memiliki kesederhanaan dan kesatuan sejati. Hanya Dia semata yang memiliki identitas sempurna, baik esensi maupun eksistensi. Dapat disimpulkan bahwa apakah prinsip ”hanya satu dari yang satu” yang gagal menjelaskan ketersusunan dan keanekaragaman, seperti yang tampak di alam semesta, ataukah memang Tuhan tidak memiliki keesaan murni. Seluruh premis falasifah yang berkaitan dengan teori mereka tentang emanasi dikritik oleh Al-Ghazali tanpa pengecualian[12].
Penggunaan “rasio” dalam wilayah metafisika tidak memadai dan keliru. Kita dengan mudah dapat memahami dari argument Al-Ghazali bahwa rasio semata tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan filsafat yang perennial tersebut. Karena pertimbangan awal ini, akhirnya Al-Ghazali hanya bersandar kepada “Wahyu” untuk memperoleh pengetahuan metafisika.
Sisi paling penting dari konsepsi Al-Ghazali dalam menolak metafisika rasional adalah penekanannya pada ketidakmampuan rasio manusia untuk menangkap secara akurat penyelesaian secara memuaskan persoalan-persoalan metafisika dan teologi. Penekanan lain diberikan kepada realitas Tuhan yang “berkehendak”, yaitu Tuhan sebagai pelaku yang “ berkehendak ”. Al-Ghazali sangat jarang berbicara tentang kemungkinan subjek manusia ”berkehendak” untuk membangun batang tubuh pengetahuan dalam upaya memahami fenomena alam, terutama etika mistiknya.[13]


KESIMPULAN
Dari makalah ini sedikit penulis menyampaikan beberapa dalam makalah ini, bahwa menurut al-Ghozali filsafat hanya semata-mata untuk menguatkan dasar-dasar ilmu kalam. Al-Ghozali juga memandang bahwasannya cara pengambilan yang demikian sangat dangkal. Sebab, dalam berfilsafat bukanlah keyakinan kita bertambah teguh melainkan tenggelam dalam keraguan dan kegelapan. Segala kebenaran, keadilan, kecintaan, dan keyakinan kita memang menjadi pintar (rasio), pandai mengumpulkan fikiran kita sendiri. Tetapi, jiwa menjadi kosong. Sebab, akal saja tidaklah dapat mencari nilai.



DAFTAR PUSTAKA
http://www.albarokah.or.id. Diakses tanggal 28 oktober 2010.
Abullah, Amin, “Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam”, (Bandung: Mizan, 2002).

Asmin Yudian Wahyudi, “Aliran dan Teori Filsafat Islam”, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004).


[1] http://www.albarokah.or.id. Diakses tanggal 28 oktober 2010.
[2] Ada yang mengatakan nama Al-Ghozzali ini berasal dari kata Ghazzal, yang artinya tukang pintal benang karena pekerjaan ayahnya memintal benang wol. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa nama al ghazali diambil dari ghazalah, nama Kampung kelahiran al-Ghazali. Yang terakhir ini inilah yang banyak dipakai.
[3] Aliran Hasywiah berpegang pada arti dari suatu teks(ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah) agar mereka tidak mengosongkan Allah dari sifat-sifat, sehingga mereka antropomorfis. 
[4] Mu’tazilah berlebih-lebihan dalam menyucikan Allah, sehingga mereka harus menafikan sifat-sifat dari Allah.
[5] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm, 74.
[6] Ibid, hlm, 75.
[7] Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam,(Bandung: Mizan, 2002) hlm. 58.
[8]Antara Al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, hlm. 58.
[9]Ibid, hlm. 62.
[10]Ibid, hlm. 62.
[11]Ibid, hlm. 63                    
[12] Ibid, hlm, 64.
[13]Ibid, hlm. 65.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar