Selasa, 01 Mei 2012

Pergulatan Filosofis Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd


Pergulatan Filosofis Ibnu Sina, Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd 

Al-Ghazali dan Filsafat 
“Sekelompok masyarakat begitu terpesona dengan kehebatan filsafat Yunani. Mereka lebih suka mengikuti pemikiran filsafat ketimbang ajaran Islam. Nama-nama filosof  beken seperti Socrates, Hippocrates, Aristoteles dan lainnya, membuat mereka terkagum-kagum. Padahal, mereka belum memahami betul pemikiran para filosof tersebut,” demikian tulis al-Ghazali (450/1058-505/1111), Sang Bukti Islam (Hujjatul Islam) di halaman awal Tahafutul Falasifah.
Bermaksud  menunjukkan kekeliruan filsafat, al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah (Ketidak-koherensian Para Filosof). Karya yang ditulis sekitar bulan Januari 1095 itu adalah jawaban bagi mereka yang terlalu mengidolakan filsafat.  
Namun, al-Ghazali tidak menolak filsafat secara total. Bagi al-Ghazali, pemikiran para filosof ada juga yang tidak bertentangan dengan akidah (la yasdumu mazhabuhum fihi aslan min usuliddin). Pemikiran para filosof tentang gerhana bulan (al-kusuful qamariy), yaitu hilangnya cahaya bulan disebabkan posisi bumi yang berada di antara bulan dan matahari, tidak bertengangan dengan Islam. Saat gerhana, bulan berada dalam bayang-bayang bumi, maka sinar matahari tidak dapat diserap oleh bulan.
Begitu juga dengan pemikiran mereka mengenai gerhana matahari (kusufus syams), tatkala posisi bulan berada di tengah antara bumi dan matahari. Al-Ghazali menegaskan, jika pendapat mereka mengenai hal-hal seperti ini ditolak dengan alasan agama, justru akan melemahkan ajaran Islam.
Jadi, bagi al-Ghazali, filsafat itu ada sesatnya. Namun, ada pula benarnya. Selama tidak bertentangan dengan akidah, maka fisika, logika, matematika, geometri yang merupakan bagian dari ilmu filsafat, bisa diterima. Tapi, jika bertentangan dengan akidah, seperti metafisika, dan unsur-unsur dalam fisika maupun psikologi (saat itu psikologi bagian dari ilmu filsafat), maka bagian dari filsafat tersebut harus ditolak. Al-Ghazali telah meletakkan filsafat pada tempatnya.

Tahafutul Falasifah
Dalam karyanya,  Tahafutul Falasifah, al-Ghazali menunjukkan kekeliruan pemikiran para filosof Yunani dan para pengikut mereka seperti al-Farabi (m. 950) dan Ibnu Sina (m. 1037). Tahafutul Falasifah memuat 20 persoalan filosofis. Dari kedua puluh persoalan tersebut, tiga persoalan menyebabkan kekufuran, yaitu: pemikiran para filosof bahwa alam (yang dimaksud dengan alam adalah apa saja ciptaan Allah, termasuk alamul ghaib) adalah tidak bermula; Tuhan mengetahui hal-hal partikular dengan cara yang universal, dan tidak ada kebangkitan fisik di akhirat kelak.
Dari kedua puluh persoalan filosofis, persoalan keazalian alam menyedot sekitar seperlima dari keseluruhan isi buku Tahafutul Falasifah.  Bagaimana Tuhan menciptakan alam? Para filosof (tidak termasuk Plato) beranggapan bahwa alam tidak bermula. Alam ada sejak Tuhan ada. Tuhan ada maka alam ada. Jika Tuhan ada, dan alam tidak ada, maka ketiadaan hadir sebelum adanya alam.
Namun, bagi para filosof, kondisi seperti itu, mustahil bagi akal. Sebabnya, jika alam dari tiada kemudian berubah menjadi ada, maka pasti ada faktor (murajjih) yang menyebabkan perubahan dari ketiadaan menjadi ada. Para filosof menyatakan tidak mungkin jika perubahan tersebut disebabkan oleh Tuhan. Sebab jika perubahan itu terjadi (dari tiada menjadi ada), akan timbul persoalan. Mengapa Tuhan menciptakan alam itu pada saat itu, kenapa tidak sebelumnya?
Bagi para filosof, tidak mungkin untuk mengatakan Tuhan “dulu Dia tidak berkehendak saat alam belum diciptakan” dan “saat alam diciptakan Dia baru berkehendak”. Hal ini, kata mereka,  tidak mungkin terjadi, karena perubahan tidak terjadi pada diri Zat yang Maha Suci.
Agamawan pun mengakui tidak ada perubahan pada diri Zat yang Maha Suci. Oleh sebab itu, tidak bisa tidak, alias sebuah keharusan, alam itu tidak bermula di dalam waktu. Alam ada sejak Allah ada. Namun, para filosof seperti Ibnu Sina mengingatkan, tetap ada perbedaan yang jelas antara eksistensi Allah dan eksistensi alam. Allah “lebih dulu” ada dibanding alam. Namun, makna “lebih dulu” bukan dalam katagori waktu. Tapi, dalam katagori esensi (biz-zat), seperti sebab “lebih dulu” dari akibat, ataupun angka satu “lebih dulu” dari angka dua, atau seperti matahari “lebih dulu” dari sinarnya. Tentu, perumpamaan ini tidak bisa diaplikasikan sepenuhnya kepada Zat yang Maha Suci karena Dia berbeda dengan makhluk-Nya. Namun, seperti itulah kira-kira makna “lebih dulu,” demikian menurut Ibnu Sina.
Bertentangan dengan pemikiran Ibnu Sina, al-Ghazali, berpendapat tidak ada keharusan logika untuk menyimpulkan alam tidak bermula. Bagi al-Ghazali, tidak mustahil bagi akal untuk berfikir bahwa Tuhan ada dan tidak ada apa pun bersama-Nya. Tuhan mencipta alam dari ketiadaan. Adanya ketiadaan sebelum penciptaan alam bukanlah sesuatu yang mustahil.  
Jika para filosof mengajukan pertanyaan: Mengapa Tuhan menciptakan alam dari sebelumnya tiada kemudian menjadi ada? Apa kira-kira faktor yang mendorong, kehendak Sang Pencipta yang dari sebelumnya tidak mencipta kemudian ingin mencipta? Al-Ghazali menjawab: di sinilah inti persoalannya. Kehendak Tuhan tidak bisa dianalogikan dengan kehendak manusia, dari tidak mau (mencipta alam) berubah menjadi mau (mencipta alam).
Kehendak Tuhan tidak mengalami perubahan. Sebabnya, makna kehendak adalah pilihan, bukan perubahan. Tuhan memilih mencipta “saat itu,” dan bukan “sebelum saat itu.” Tuhan Berkehendak mencipta pada “saat itu,” bukan sebelumnya. Jika kira-kira para filosof bertanya: Mengapa Tuhan Berkehendak “saat itu,” bukan sebelumnya? Al-Ghazali menjawab, tidak ada perubahan pada Kehendak Tuhan. Sebabnya, makna Kehendak (Iradah) bukan dari tidak mau menjadi mau. Makna “Kehendak” adalah memilih. Tuhan memilih “saat itu.” Pilihan tersebut tidak mengandung makna perubahan pada Kehendak-Nya. Inilah makna Kehendak, ungkap Imam al-Ghazali.

Tahafutut Tahafut
Sekitar sembilan puluh tahun kemudian -- sejak Imam al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah --  Ibnu Rusyd menulis Tahafutut Tahafut (Inkoherensinya Inkoherensi) sekitar tahun 1185. Ibnu Rusyd, Sang Komentator Aristoteles,  mengkritik al-Ghazali paragraf demi  paragraf. Ibnu Rusyd bukan saja menolak pemikiran al-Ghazali. Tapi ia juga menolak pemikiran para filosof seperti al-Farabi dan Ibnu Sina karena mereka telah menyimpang dari pemikiran Aristoteles. Namun, tetap kritikan utama Tahafutut Tahafut diajukan kepada al-Ghazali.
Bagi Ibnu Rusyd, al-Ghazali telah keliru,  karena berpendapat Kehendak Tuhan tetap tidak berubah dengan penciptaan alam. Menurut Ibnu Rusyd, penciptaan alam dari tiada (ex nihilo) menjadi ada, mengindikasikan perubahan pada Tuhan. Padahal, menurut Ibnu Rusyd, Tuhan tidak berubah. Kehendak Tuhan yang abadi tidak mengalami perubahan. Oleh sebab itu, Ibnu Rusyd berpendapat alam itu tidak bermula. Jika alam bermula, maka akan ada perubahan pada-Nya.
Jadi, Ibnu Rusyd menyimpulkan alam adalah azali (qadim). Alam tidak bermula dalam waktu. Alam adalah akibat yang harus dari eksistensi Tuhan. Selain itu, bagi Ibnu Rusyd, penciptaan ex nihilo (dari ketiadaan) tidak memiliki dasar pijakan dalam al-Qur’an. Jadi, menurut Ibnu Rusyd, tuduhan kekufuran terhadap para filosof tidak memiliki basis agama.
 

Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd
Setelah meneliti secara mendalam, Marmura dalam disertasinya yang berjudul The Conflict Over The World’s Pre-Eternity in The Tahafuts of al-Ghazali and Ibn Rushd, menyimpulkan bahwa konflik antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd sebenarnya berasal dari konflik premis-premis metafisika yang tidak bisa didamaikan. Kritik al-Ghazali terhadap konsep keazalian alam  berpijak pada asal-usul konsep ini yang berangkat dari konsep Tuhan Aristoteles.
Konsep Tuhan seperti ini bertentangan dengan konsep Tuhan yang ada dalam al-Qur’an. Konsep Tuhan Aristoteles berangkat dari konsep Tuhan yang harus mencipta alam. Tuhan --tidak bisa tidak -- harus mencipta alam. Jadi, Tuhan berbuat dengan keharusan. Bukan itu saja, Perbuatan-Nya pun selanjutnya ditentukan dengan benda-benda diluar diri-Nya. Dia tidak bertindak secara langsung ke dalam alam ciptaan-Nya. Namun tindakan-Nya melalui serial sebab-sebab esensial yang berlaku sebagai perantara. Premis-premis seperti ini yang mendorong Aristoteles untuk merumuskan alam ini tidak berpemulaan. Pemikiran metafisis ini yang mempngaruhi pemikiran al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Sementara bagi al-Ghazali dan tentunya mayoritas kaum Muslimin, konsep Tuhan dalam al-Qur’an adalah Maha Kuasa. Dia juga Maha Berkehendak. Dia tidak berbuat dengan keharusan. Tidak ada diluar Diri-Nya yang menentukan perbuatan-Nya. Alam sepenuhnya tergantung kepada-Nya. Eksistensi alam secara total setiap saat bergantung kepada perbuatan-Nya secara langsung. Segala sesuatu di alam ini setiap saat secara langsung berada dalam genggaman-Nya. Dialah yang menyebabkan segala perubahan dan pergerakan. Tidak ada keharusan keterkaitan sebab-akibat di alam ini.

Salah-Paham
Kritikan Imam al-Ghazali terhadap filsafat terkadang  ditafsirkan keliru. Al-Ghazali, misalnya, dituduh sebagai biang kerok kemunduran sains umat Islam. Prof. al-Ahwany, misalnya,  menilai: “Sayangnya, kaum Muslimin mengikuti al-Ghazali… dan sedikit demi sedikit mengabaikan pelajaran sains. Zaman kebesaran peradaban Islam menjadi buram… Kembali kepada Ibnu Rusyd adalah salah satu insentif untuk kebangkitan kembali saat ini di Timur. Menurut al-Ahwany, Muhammad Abduh, Amir Ali dan ramai tokoh-tokoh Muslim modern setuju dengan trend pemikiran Ibnu Rusyd dibanding al-Ghazali (Ahmad Fouad al-Ahwany, “Ibn Rushd” dalam M. M. Sharif, A History of Muslim Philosophy).
Para Orientalis juga menyuarakan nada yang sama. George Sarton, misalnya, menyatakan pandangan al-Ash’ari dan al-Ghazali merupakan penghambat kemajuan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan (George Sarton: Introduction to the History of Science).
Sebenarnya, tuduhan kepada Imam al-Ghazali terlalu berlebihan. Menurut  al-Ghazali, mempelajari sains adalah fardu kifayah bagi umat Islam. Al-Ghazali telah mengingatkan dalam Tahafutul Falasifah, supaya mengkaji sains, sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini.
Waktu telah membuktikan pengaruh al-Ghazali kepada umat lebih besar dibanding pengaruh Ibnu Rusyd. Mayoritas umat Islam baik dalam khilafah Utsmaniyah yang berkuasa sekitar 700 tahun, dinasti Mughal di India-Pakistan selama 300 tahun, termasuk di alam Melayu, lebih banyak yang mengikuti pemikiran imam al-Ghazali dibanding Ibnu Rusyd.
Setelah wafatnya al-Ghazali (w. 1111), sains tetap berkembang sampai abad ke-16. Observatorium Maragha misalnya dibangun tahun 1259 hingga tahun 1304. Di Samarqand, Observatorium juga dibangun tahun 1420. Observatorium Istanbul dibangun pada tahun 1577. Tentunya, berbagai Observatorium itu bisa dibangun dengan melibatkan berbagai pakar dalam bidang astronomi, matematika dan teknologi. Bahkan kritik terhadap paham Geosentris telah dilakukan para ahli astronomi Muslim di Observatorium Maragha dan Samarqand, jauh sebelum Copernicus.
Kemunduran sains dalam peradaban Islam lebih ditentukan beragam faktor. Sains memerlukan dukungan penguasa, stabilitas politik, kemakmuran ekonomi, dan lingkungan yang kondusif. Pascawafatnya al-Ghazali, suasana kondusif tidak selalu hadir di wilayah kekuasaan Islam. Perang salib yang berkecamuk sekitar 200 tahun sangat menguras energi umat. Cengkraman bangsa Mongol yang merebut Baghdad, Samarqand, Bukhara dan Khawarism serta membantai penduduk kota-kota tersebut dan membumihanguskan infrastrukturnya sangat melemahkan kondisi umat. Munculnya kekuatan Barat dan bermulanya kolonialisasi atas berbagai wilayah Muslim semakin melemahkan kekuatan umat Islam. Sebab-sebab ini memiliki pengaruh yang besar atas kemunduran sains umat Islam.
Penting dicatat pengamatan Etienne Gilson, seorang filosof Kristen. Menurutnya, pengaruh Ibnu Rusyd di Barat telah menyebabkan masyarakat Kristen meninggalkan agamanya. Para pengikut Ibnu Rusyd (Averroisme) meraih kemajuan sains dan teknologi dengan mengorbankan ajaran agamanya. Bagi Averroisme, akal berada di atas Wahyu. Padahal dalam struktur epistemologi Islam, Wahyu adalah sumber epistemologi yang utama. Al-Ghazali menulis Tahafutul Falasifah karena filsafat -- ketika itu -- telah menggeser wahyu sebagai sumber epistemologi yang utama.  Al-Ghazali berusaha meletakkan filsafat pada tempatnya. Wallahu a’lam. (***)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar