Selasa, 13 Desember 2011

Etika Dan Filsafat


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
              Di dalam permasalahan filsafat dapat diketahui bahwa pelaku filsafat adalah akal dan hati. Pertentangan atau kerja sama antara akal dan hati itulah pada dasarnya isi sejarah filsafat. Memang pusat kendali kehidupan manusia terletak di tiga tempat, yaitu indera, akal, dan hati. Namun akal dan hati itulah yang paling menentukan.
              Dalam sejarah filsafat kelihatan akal pernah menang, pernah kalah; hati pernah berjaya, juga pernah kalah; pernah juga kedua-duanya sama-sama menang. Di antara keduanya, dalam sejarah telah terjadi pergumulan berebut dominasi dalam mengendalikan kehidupan manusia.[1]
              Yang dimaksud akal disini ialah akal yang logis yang bertempat di kepala, sedangkan hati ialah rasa yang kira-kira bertempat di dalam dada. Akal itulah yang menghasilkan pengetahuan logis yang disebut filsafat, sedangkan hati pada dasarnya menghasilkan pengetahuan supralogis yang disebut pengetahuan mistik; iman termasuk di sini.
              Adapun buah pemikiran dari filsafat itu sendiri diantaranya adalah hal yang menyangkut tentang permasalahan etika. Karena itulah etika menjadi salah satu cabang dari filsafat yang di dalamnya menyangkut tentang masalah seputar moralitas (norma-norma) dan teori tentang masalah moral lainnya.
              



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Etika
              Dari segi etimologi, etika etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat.[2] Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).[3] Dari pengertian pengetahuan kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia.
              Adapun arti etika dari segi terminologi (istilah) yaitu sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing. Ahmad Amin misalnya mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.[4]
              Berikutnya dalam Encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sistematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.
              Selanjutnya Frankena, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Charris Zubair mengatakan bahwa etika adalah sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat moral atau pemikiran filsafat tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral.[5]
              Dari beberapa definisi etika tersebut di atas dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi obyek pembahasannya, etika berusaha membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolut dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan, dan sebagainya. Selain itu etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang membahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Hal ini dimungkinkan, karena berbagai ilmu yang disebutkan itu sama-sama memiliki obyek pembahasan yang sama dengan etika, yaitu perbuatan manusia. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Peranan etika dalam hal ini tampak sebagai wasit atau hakim, dan bukan sebagai pemain. Ia merupakan konsep atau pemikiran mengenai nilai-nilai untuk digunakan dalam menentukan posisi atau status perbuatan yang dilakukan manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.[6]
              Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan yang baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan anthropocentris, yakni berdasar pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.

2.2  Filsafat Etika
              Imanuel Kant, terkenal dengan filsafat kritisnya yang lebih banyak berbicara tentang filsafat moral dan etika. Dia merupakan tokoh penting karena dia bisa disebut sebagai pemersatu antara filsafat Rasionalisme dan Empirisme. Tapi ternyata usahanya untuk menyatukan keduanya terpecah kembali sehingga sekarang kita kenal filsafat positivisme, logis dan idealisme. Dan dalam Grundlegung zur Metaphysik der Sitten, filsafat Yunani bisa dibagi menjadi 3 bagian yaitu logika, fisika, dan etika. Logika bersifat a priori tapi fisika dan etika memiliki unsur-unsur a priori dan empiris. Ilmu fisika apriori empiris ini disebut ilmu alam (Naturlehre) sedangakan ilmu etika apriori empiris disebut ilmu kesusilaan (Sittenlehre) dan Metafisika kesusilaan (Metaphysik der Sitten).
              Filsafat etika adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang membahas masalah seputar moralitas (norma-norma), prinsip-prinsip moral, dan teori-teori moral. Misalnya teori hati nurani, teori rasa moral, teori keputusan moral, teori tentang kebaikan mutlak dan teori tentang kebaikan relatif, teori tentang kejahatan, teori kriteria moral, teori tentang asal mula manusia harus bermoral, dan lain-lain.
              Ada beberapa teori tentang nilai etika (baik dan buruk). Pertama, misalnya teori nilai dari islam. Dalam islam, nilai etika direntang menjadi lima kategori, yaitu baik sekali, baik, netral, buruk, buruk sekali (wajib, sunah, mubah, makruh, haram). Nilai dalam islam ditentukan olehTuhan. Teori baik-buruk dari hedonisme mengajarkan bahwa sesuatu dianggap baik bila mengandung hedone (kenikmatan, kepuasan) bagi manusia. Teori ini telah ada sejak zaman Yunani kuno. Bagi vitalisme, baik-buruk ditentukan oleh ada atau tidak adanya kekuatan hidup yang dikandung oleh objek yang dinilai. Manusia yang kuat, ulet, cerdas, itulah manusia yang baik. Manusia yang mengandung daya hidup yang besar, itulah manusia yang baik. Utilitarianisme menyatakan bahwa yang baik ialah yang berguna (utility = kegunaan). Utilitarianisme terbagi menjadi dua, yaitu utilitarianisme pribadi dan utilitarianisme sosial. Bagi Bentham, utilitarianisme merupakan perkembangan hedonisme. Baginya, etika harus memperhitungkan jumlah kenikmatan dikurangi jumlah penderitaan tentang hasil perbuatan, itulah yang menentukan nilai perbuatan itu. Menanggung derita dalam melakukan kebaikan adalah tidak baik. Jadi, harus diperhitungkan terlebih dahulu, banyak mana antara kenikmatan dan penderitaan yang terdapat dalam perbuatan itu.
              Yang terakhir dibicarakan di sini ialah pragmatisme, yaitu suatu aliran yang segolongan darah dengan utilitarianisme. Prinsip yang diajarkan oleh aliran ini ialah yang baik adalah yang berguna secara praktis dalam kehidupan. Tokoh utamanya ialah Charles P. Peirce, William James, John Dewey, dan Scott Schiller. Peirce adalah yang mula-mula mengumumkan pragmatisme dan dikembangkan oleh James. Bagi James, ukuran kebenaran suatu teori ialah kegunaan praktis teori itu, bukan dilihat secara teoritis. Bagi Pierce, untuk mengerti suatu pikiran cukuplah kita memastikan tindakan apa yang dapat dihasilkan oleh ide itu.[7]

2.3  Etika Aquinas
              Nilai etika yang tertinggi pada pandangan etika Aquinas ialah kebaikan tertinggi. Kebaikan tertinggi itu menurut pendapatnya tidak mungkin dapat dicapai dalam kehidupan sekarang. Kita harus menunggu hari kelak tatkala kita memperoleh pandangan yang sempurna tentang Tuhan. Pandangan etika Aquinas menekankan superioritas kebaikan keagamaan. Karenanya ia banyak membahas tentang masalah iman. Ia toleran terhadap orang-orang yang tidak beriman dan bekerja sama dengan mereka, tetapi ia juga terang-terangan menuduh mereka kafir.


[1]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra, (Bandung; Rosda Karya, 2009), h. 47.
[2] .  Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta; Rajawali Pers, 1980), h. 13.
[3]W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1991, h. 278.
[4] .  Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta; Rajawali Pers, 2010), h. 90.
[5]Ibid., h. 91.
[6]Abuddin Nata, loc.cit.
[7]Ahmad Tafsir, op.cit., h. 40.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar