BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di
dalam permasalahan filsafat dapat diketahui bahwa pelaku filsafat adalah akal
dan hati. Pertentangan atau kerja sama antara akal dan hati itulah pada
dasarnya isi sejarah filsafat. Memang pusat kendali kehidupan manusia terletak
di tiga tempat, yaitu indera, akal, dan hati. Namun akal dan hati itulah yang
paling menentukan.
Dalam
sejarah filsafat kelihatan akal pernah menang, pernah kalah; hati pernah
berjaya, juga pernah kalah; pernah juga kedua-duanya sama-sama menang. Di
antara keduanya, dalam sejarah telah terjadi pergumulan berebut dominasi dalam
mengendalikan kehidupan manusia.[1]
Yang
dimaksud akal disini ialah akal yang logis yang bertempat di kepala, sedangkan
hati ialah rasa yang kira-kira bertempat di dalam dada. Akal itulah yang
menghasilkan pengetahuan logis yang disebut filsafat, sedangkan hati pada
dasarnya menghasilkan pengetahuan supralogis yang disebut pengetahuan mistik;
iman termasuk di sini.
Adapun
buah pemikiran dari filsafat itu sendiri diantaranya adalah hal yang menyangkut
tentang permasalahan etika. Karena itulah etika menjadi salah satu cabang dari
filsafat yang di dalamnya menyangkut tentang masalah seputar moralitas
(norma-norma) dan teori tentang masalah moral lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Etika
Dari segi etimologi, etika etika berasal dari bahasa Yunani, ethos
yang berarti watak kesusilaan atau adat.[2]
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika diartikan sebagai ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak (moral).[3] Dari
pengertian pengetahuan kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan
upaya menentukan tingkah laku manusia.
Adapun
arti etika dari segi terminologi (istilah) yaitu sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan
sudut pandangnya masing-masing. Ahmad Amin misalnya mengartikan etika adalah
ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di
dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang
seharusnya diperbuat.[4]
Berikutnya
dalam Encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral,
yaitu studi yang sistematik mengenai sifat dasar dari konsep-konsep nilai baik,
buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.
Selanjutnya
Frankena, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Charris Zubair mengatakan bahwa
etika adalah sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat moral atau pemikiran
filsafat tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral.[5]
Dari
beberapa definisi etika tersebut di atas dapat segera diketahui bahwa etika
berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi
obyek pembahasannya, etika berusaha membahas perbuatan yang dilakukan oleh
manusia. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal
pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat
mutlak, absolut dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki
kekurangan, kelebihan, dan sebagainya. Selain itu etika juga memanfaatkan
berbagai ilmu yang membahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi,
psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Hal ini
dimungkinkan, karena berbagai ilmu yang disebutkan itu sama-sama memiliki obyek
pembahasan yang sama dengan etika, yaitu perbuatan manusia. Ketiga,
dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan
penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah
perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan
sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap
sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Peranan etika dalam hal ini
tampak sebagai wasit atau hakim, dan bukan sebagai pemain. Ia merupakan konsep
atau pemikiran mengenai nilai-nilai untuk digunakan dalam menentukan posisi
atau status perbuatan yang dilakukan manusia. Etika lebih mengacu kepada
pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi
sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan
tuntutan zaman.[6]
Dengan
ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan
yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk
dikatakan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof
barat mengenai perbuatan yang baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada
pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika
sifatnya humanistis dan anthropocentris, yakni berdasar pada pemikiran manusia
dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola
tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.
2.2 Filsafat
Etika
Imanuel
Kant, terkenal dengan filsafat kritisnya yang lebih banyak berbicara tentang filsafat
moral dan etika. Dia merupakan tokoh penting karena dia bisa disebut sebagai
pemersatu antara filsafat Rasionalisme dan Empirisme. Tapi ternyata usahanya
untuk menyatukan keduanya terpecah kembali sehingga sekarang kita kenal
filsafat positivisme, logis dan idealisme. Dan dalam Grundlegung zur Metaphysik
der Sitten, filsafat Yunani bisa dibagi menjadi 3 bagian yaitu logika, fisika,
dan etika. Logika bersifat a priori tapi fisika dan etika memiliki unsur-unsur
a priori dan empiris. Ilmu fisika apriori empiris ini disebut ilmu alam
(Naturlehre) sedangakan ilmu etika apriori empiris disebut ilmu kesusilaan
(Sittenlehre) dan Metafisika kesusilaan (Metaphysik der Sitten).
Filsafat etika adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang membahas
masalah seputar moralitas (norma-norma), prinsip-prinsip moral, dan teori-teori
moral. Misalnya teori hati nurani, teori rasa moral, teori keputusan moral, teori tentang kebaikan mutlak dan teori tentang kebaikan relatif, teori tentang
kejahatan, teori kriteria moral, teori tentang asal mula manusia harus
bermoral, dan lain-lain.
Ada
beberapa teori tentang nilai etika (baik dan buruk). Pertama, misalnya teori
nilai dari islam. Dalam islam, nilai etika direntang menjadi lima kategori,
yaitu baik sekali, baik, netral, buruk, buruk sekali (wajib, sunah, mubah,
makruh, haram). Nilai dalam islam ditentukan olehTuhan. Teori baik-buruk dari
hedonisme mengajarkan bahwa sesuatu dianggap baik bila mengandung hedone
(kenikmatan, kepuasan) bagi manusia. Teori ini telah ada sejak zaman Yunani
kuno. Bagi vitalisme, baik-buruk ditentukan oleh ada atau tidak adanya kekuatan
hidup yang dikandung oleh objek yang dinilai. Manusia yang kuat, ulet, cerdas,
itulah manusia yang baik. Manusia yang mengandung daya hidup yang besar, itulah
manusia yang baik. Utilitarianisme menyatakan bahwa yang baik ialah yang
berguna (utility = kegunaan). Utilitarianisme terbagi menjadi dua, yaitu
utilitarianisme pribadi dan utilitarianisme sosial. Bagi Bentham,
utilitarianisme merupakan perkembangan hedonisme. Baginya, etika harus
memperhitungkan jumlah kenikmatan dikurangi jumlah penderitaan tentang hasil
perbuatan, itulah yang menentukan nilai perbuatan itu. Menanggung derita dalam
melakukan kebaikan adalah tidak baik. Jadi, harus diperhitungkan terlebih
dahulu, banyak mana antara kenikmatan dan penderitaan yang terdapat dalam perbuatan
itu.
Yang
terakhir dibicarakan di sini ialah pragmatisme, yaitu suatu aliran yang
segolongan darah dengan utilitarianisme. Prinsip yang diajarkan oleh aliran ini
ialah yang baik adalah yang berguna secara praktis dalam kehidupan. Tokoh
utamanya ialah Charles P. Peirce, William James, John Dewey, dan Scott
Schiller. Peirce adalah yang mula-mula mengumumkan pragmatisme dan dikembangkan
oleh James. Bagi James, ukuran kebenaran suatu teori ialah kegunaan praktis
teori itu, bukan dilihat secara teoritis. Bagi Pierce, untuk mengerti suatu
pikiran cukuplah kita memastikan tindakan apa yang dapat dihasilkan oleh ide
itu.[7]
2.3 Etika
Aquinas
Nilai
etika yang tertinggi pada pandangan etika Aquinas ialah kebaikan tertinggi.
Kebaikan tertinggi itu menurut pendapatnya tidak mungkin dapat dicapai dalam
kehidupan sekarang. Kita harus menunggu hari kelak tatkala kita memperoleh
pandangan yang sempurna tentang Tuhan. Pandangan etika Aquinas menekankan
superioritas kebaikan keagamaan. Karenanya ia banyak membahas tentang masalah
iman. Ia toleran terhadap orang-orang yang tidak beriman dan bekerja sama
dengan mereka, tetapi ia juga terang-terangan menuduh mereka kafir.
[1]
. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum
Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra, (Bandung; Rosda Karya, 2009), h. 47.
[2] . Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika,
(Jakarta; Rajawali Pers, 1980), h. 13.
[3] . W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta;
Balai Pustaka, 1991, h. 278.
[4] . Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta;
Rajawali Pers, 2010), h. 90.
[5] . Ibid., h. 91.
[6]
. Abuddin Nata, loc.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar