AL – GHAZALI
A. Pendahuluan
Dinamika
pemikiran dalam dunia islam tetap berkembang sampai sekarang. Kenyataan ini
dimungkinkan terjadi berkat doktrin yang menghargai akal setinggi mungkin
sebagai salah satu sumber pengetahuan dan kebenaran. Bahkan Al-Qur’an dan
Al-Hadits tidak jarang menyuarakan urgensi penalaran, penelitian dan pemikiran.
Berdasarkan doktrin inilah filsafat lahir di negeri-negeri islam.
Adapun salah satunya yaitu
Al-Ghazali yang merupakan filosof muslim di dunia islam belahan timur. Apabila
mengulas beberapa buku Al-Ghazali, maka dapat diketahui betapa besar andilnya
dalam membenarkan islam yang berbeda dengan pemikiran para fuqaha, filosof
maupun para teolog.
Mungkin Al-Ghazali sendiri tidak
rela apabila ia dikategorikan sebagai filosof islam, karena ia telah menyerang
secara habis-habisan bahkan mengatakan kufur pada filsafat dan para pemukanya.
Namun dalam kenyataannya ia seorang filosof besar, hal ini terbukti dalam
karyanya yaitu Tahafut Al-Falasifah.
B. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin
Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H. Nama Ghazali sendiri
diambil dari nama sebuah tempat dimana beliau dilahirkan tepatnya di desa
Ghazalah dekat dengan kota Tus di Khurasan. Ayah Al-Ghazali meninggal dunia
ketika Al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil. Akan tetapi, sebelum wafat
ayahnya sempat menitipkan Al-Ghazali dan adiknya kepada seorang sufi untuk
dibimbing dan dipelihara.
Pertama Al-Ghazali belajar ilmu
agama di kota Tus, kemudian di Jurjan, selanjutnya ke Naysabur pada pada imam
al-Juwairri. Kemudian ia berkunjung kepada Nizam al-Malik di kota Muaskan. Ia
tinggal di sana selama 6 tahun, dan pada tahun 483 H ia diangkat menjadi guru
di sekolah Nidzamiah Baghdad. Selain mengajar ia juga memperdalam berbagai
disiplin ilmu termasuk ilmu kalam dan filsafat.[1]
Pada tahun 488 H Al-Ghazali tergerak
hatinya untuk menunaikan ibadah haji. Setelah selesai menunaikan ibadah haji ia
pergi ke syiria untuk mengunjungi Baitul Maqdis, kemudian melanjutkan
perjalanan ke Damaskus. Ia tinggal di sana selama 10 tahun, dan pada saat
itulah ia sempat mengarang sebuah kitab yaitu Ihya Ulumuddin.
Karena desakan dari para penguasa,
Al-Ghazali akhirnya mau kembali untuk mengajar di sekolah Nidzamiyah di
Naysabur walaupun hanya bertahan sampai 2 tahun. Akhirnya ia kembali ke us dan
mendirikan sekolah untuk para fuqaha dan mutashawifin. Dan di kota itu pula ia
meninggal pada tahun 505 H.[2]
C. Hasil Karya Al-Ghazali
Karangan Al-Ghazali berjumlah kurang
lebih sebanyak 100 buah. Karangannya ini meliputi berbagai macam ilmu
pengetahuan seperti ilmu kalam, fiqh, tasawuf, akhlak dan autobiografi.
Diantara karangannya tersebut ada beberapa kitab yang menyebabkan polemik diantara
ahli filsafat, buku tersebut adalah Maqashidul Falasifah dan Tahafut
Al-Falasifah.
Adapun kitabnya yang terkenal yaitu
Ihya Ulumuddin yang dikarangnya selama beberapa tahun. Bukan saja terkenal di
kalangan kaum muslimin, tetapi juga di dunia barat dan luar islam. Bukunya yang
lain ialah Al-Munqidz Minadh Dhalal yang berisi sejarah perkembangan
dalam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa
macam ilmu serta jalan untuk mencapai Tuhan.[3]
D. Filsafat Metafisika Al-Ghazali
Al-Ghazali menghantam
pendapat-pendapat filsafat Yunani, diantaranya yang terpenting ialah :
1.
Al-Ghazali
menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia.
Di sini Al-Ghazali berpendapat bahwa alam berasal dari tidak ada menjadi ada
sebab diciptakan oleh Tuhan.
2.
Al-Ghazali
menyerang kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia
berpendapat bahwa soal keabadian alam itu terserah kepada Tuhan semata.
3.
Al-Ghazali
menyerang pendapat kaum filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang
benar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil.
4.
Al-Ghazali
menentang pendapat filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum
sebab akibat semata.[4]
Sebagian orang mengatakan bahwa
Al-Ghazali bukan seorang filosof karena Al-Ghazali menentang dan memerangi
filosof di dalam karyanya yang berjudul Tahafut Al-Falasifah. Karena di
sana diketahui apa yang diungkapkan Al-Ghazali khususnya tentang baharunya alam
telah nampak jalan fikiran dan alasan yang jelas dan teliti.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa Al-Ghazali menyerang filsafat karena beliau lebih dahulu telah mengetahui
dan memahami filsafat, dan beliau menyerangnya dengan memakai metode filsafat
juga.[5]
E. Iradat Tuhan Al-Ghazali
Mengenai kejadian alam dan dunia
Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia ini berasal dari iradat Tuhan semata-mata,
tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat Tuhan itulah yang diartikan
penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, di satu pihak
merupakan undang-undang dan di pihak lain merupakan atom-atom yang masih
abstrak.
Penyesuaian yang kongkret antara
atom-atom abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan
kebiasaannya yang kita lihat ini. Iradat Tuhan itu sendiri adalah mutlak, bebas
dari ikatan waktu dan ruang. Tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang
dapat ditangkap dan dikesankan pada akal manusia. Al-Ghazali menganggap bahwa
Tuhan adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya merupakan sebab hakiki dari
segala kejadian.
Pengikut Aristoteles menamakan sebab
dan peristiwa itu sebagai hukum pasti sebab dan akibat, tetapi Al-Ghazali
seperti juga Al-Asy’ary menamakannya hanya Ijra’ul adat saja. Dimana Tuhan
tetap berkuasa Mutlak untuk menyimpang dari kebiasaan sebab akibat tersebut.[6]
F. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa Al-Ghazali merupakan salah satu filosof dari dunia islam
walaupun banyak pendapatnya yang bertentangan dengan para filosof. Adapun
pemikiran tentang filsafat metafisikan yang menurut Al-Ghazali sangat berlawanan
dengan islam. Diantaranya tentang qadimnya alam, dan Tuhan tidak mengetahui
soal-soal yang kecil. Sedangkan mengenai alam dan dunia menurut Al-Ghazali berasal
dari iradat Tuhan semata-mata. Iradat Tuhan itulah yang diartikan sebagai
penciptaan.
[1] . Poerwantana, Seluk
Beluk Filsafat Islam, (Bandung; PT. Remaja Rosda Karya, 1991), h. 166.
[2] . Mustofa, Filsafat
Islam, (Bandung; Pustaka Setia, 1997), h. 215 – 216.
[3] . Ibid,
h. 219 – 220
[4] . Poerwantana, Op.Cit.,
h. 170-171.
[5] . Sunardji
Dahri Tiam, Berkenalan Dengan Filsafat Islam, ( Jakarta; PT. Bulan
Bintang, 2001), h. 118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar