AL-IMAM
AL-GHAZZALI : MELACAK JEJAK
SEBAGIAN PEMIKIRANNYA
1.
Sekilas
Tentang Riwayat Hidup Imam al-Ghazzali
Tokoh yang
juga sering disebut al-Ghazzali (za’ tasydid) yang berasal dari kata Ghazzal
yang berarti tukang pintal benang karena ayahnya adalah tukang pintal benang
wol, dilahirkan tahun 450H/1058M di kota Thus sekarang Meshed, Iran[1],
ia wafat pada 14 Jumadil Akhir 505H (18 Desember 1111M, ia menghembuskan nafas
terakhirnya dalam usia 55 tahun[2]..
Ia beranjak menjadi remaja yang terkenal cerdas dan berkemauan tinggi.
Setelah belajar pada tokoh-tokoh yang berbeda di zamannya di kota Thus, ia
melanjutkan kehausannya akan ilmu ke kota-kota di Asia Tengah. Baru setelah ia
dikenal sebagai tokoh yang kredibel ia diangkat sebagai Guru Besar pada
madrasah an-Nidhomiyah Bagdad yang didirikan oleh Wazir Nizam al-Mulk[3].
Pada masa di ataslah al-Ghazzali menyampaikan pikiran-pikirannya dan
serangan-serangannya pada paham non-kerajaan (Penganut Madhab Syafi’I dan
Asy’ary) seperti aliran batiniyah dan kaum filosof yang dinilai telah lepas dai
syari’at dan tiada mengindahkan perintah kerajaan sehingga membuat aliran
batiniyah kebakaran jenggot[4].
2. Karya-karya
Al-Ghazzali yang memiliki pengaruh bagi pemikiran umat Islam selanjutnya sebagi berikut;
a. Ihya Ulumu al-Din, berisikan kumpulan pokok-pokok agama dan
aqidah, ibadah, akhlak, dan kaidah-kaidah suluk.
b. Al-Iqtishod fi al- I’tiqod,
uraian aqidah menurut aliran al-Asy’ariah
c. Maqosid al-Falasifah,
berisikan pronsip-prinsip filsafat; ilmu manthiq, alam, dan ke-Tuhan-an..
d. Al-Munqiz min ad-Dhalal, uraian tentang kesepakatan ilmu yang
mewarnai zamannya dan berbagai lairan penting. Ilmu dan aliran-aliran tersebut dikaji secara kritis, dengan penjelasan
kelebihan dan kekurangan masing-masing aliran.
e. Mizan
al-‘amal, berisikan tentang Mizan (timbangan) amal-akhlak
f. Tahafuz
al-Falasifah (Kerancuan para Filosof), berisikan keritikan al-Ghazzali pada
para filosof.[5]
3. Duapuluh Serangan al-Ghazzali
Tahafut
al-falasifah adalah kitab yang dibuat oleh al-Ghazali saat ia
menjabat di Madrasah an-Nidhomiyah Bagdad. Isi dari Tahafut al-Falasifah
adalah sanggahan-sanggahan al-Ghazzali pada hasil pemikiran filsafat Yunani
yang dibawa oleh Ibnu sina dan Ibnu Arabi’
Terdapat 20
perkara pemikiran filsafat yang dikritik dan coba diruntuhkan oleh al-Ghazzali.
Dalam 20 persoalan tersebut terdapat 3 persoalan yang oleh al-Ghazzali yang
dibantah logikanya dan dibantah hasil pemikirannya serta dikafirkan jika
mempercayainya, yaitu keqodiman Alam, Allah tidak mengetahui partikularia-partikularia
dan pengingkaran filsuf akan kebangkitan jasmani di hari akhir. Sedang 17
persoalan sisa adalah persoalan-pesoalan yang dibantah logikanya tapi belum
tentu subtansinya.
Sebenarnya
logika al-Ghazzali dalam mengemukakan pendapatnya bukanlah hal yang asing bagi
kita, karena para ilmu kalam abad pertengahan yang diajarkan di pesantren juga
menggunakannya dalam menjelaskan persoalan ilmu tauhid.
Dua Puluh Sangahan Al-Ghazzali
terhadap para filosof , sebagai berikut [6]:
1. Sanggahan terhadap teori keabadian (abadiyah)
Alam, masa dan ruang.
Disini al-Ghazzali menyanggah teori emanasi Ibnu Sina. Bagi al-Ghazali Alam
adalah sesuatu yang baru (hudust) dan bermula dan yang qodim hanyalah
satu yaitu Allah.
2. Sanggahan terhadap teori keabadian (abadiyah) Alam, masa dan ruang.
Seperti yang kita tahu dalam filsafat; benda(materi), masa(waktu) dan ruang
adalah timbul pada saat bersamaan dengan materi, masa adalah ukuran jarak waktu
dari materi dan ruang adalah dimana materi berada. Bagi filsuf benda (materi)
itu abadi (mungkin sama dengan keabadian energy dalam fisika). al-Ghazzali
membantah keniscayaan tersebut, baginya jika Allah berkehendak untuk
menghancurkan Alam dan meniadakannya (I’dam) maka hancurlah Alam ini dan
tiada pulalah ia.
3. Kerancuan para filsuf dalam menjelaskan bahwa Tuhan adalah pencipta alam
dan alam adalah ciptaannya, dan keterangan bahawa hal tersebut adalah majaz
(perumpamaan) dan bukan hakikatnya.
Disini kritik al-Ghazzali lebih pada pendapat filsuf yang mengatakan bahwa
Allah tidak bersifat. Dan jika Allah adalah pencipta seperti apa yang kita
ketahui selama ini, maka pencipta haruslah berkehendak terlebih (murid)
dahulu, yang memilih (mukhtar), dan mengetahui dengan apa yang
dikehendakinya. Sehingga Tuhan menjadi Fa’il (Pelaku) akan apa yang
dikehendakiNya. Dan bagi para Filsuf Tuhan tiadalah dzat yang berkehendak (murid)
karena kehendak adalah sifat sedangkan Tuhan adalah dzat yang suci dari segala
sifat. Dan sesuatu yang timbul dari-Nya adalah sesuatu kosekwensi yang mesti (luzum
dlaruri).
Hal kedua bagi filsuf yang tidak mungkin terjadi karena alam adalah qodim
adapun fi’il (perbuatan) adalah baru (hadist).
Ketiga, Tuhan satu dan tidak timbul darinya kecuali yang satu dan alam
murakkab (berjumlah/bersusun) dari banyak segi. Maka menurut para filsuf
bagaimana mungkin sesuatu yang murakkab dapat timbul dari sesuatu yang
satu? Dan al-Ghazzali menolak ketiga hal di atas.
4. Ketidakmampuan Filsuf untuk membuktikan ada(wujud)nya pencipta alam.
Disini
al-Ghazzali mempertanyakan tesa yang menyatakan bahwa Alam qodim, tapi ia
diciptakan. Dan bagi al-Ghazzali ini adalah perpaduan pendapat antara ahlu
al-haq yang menyatakan alam adalah hadist, dan yang hadist pasti ada
penciptanya dan kaum Atheis (Dahriyah) yang menyatakan bahwa Alam adalah
qodim maka ia tidak membutuhkan pencipta. Bagi al-Ghazzali pendapat para
filsuf tersebut secara otomatis batal.
5.
Kelemahan para filsuf dalam mengemukakan dalil
(rasional) bahwa Tuhan adalah satu dan kemustahilan adanya dua Tuhan, wajib
al-wujud, yang masing-masing tiada illah (sebab).
Al-Ghazzali menantang segala hal dalam pembuktian para filsuf tersebut.
Bagi al-Ghazzali yang ditolak adalah logika-logika yang dipakai dan bukan pada
subtansi persoalan.
6. Sanggahan tentang tiadanya sifat
bagi Tuhan.
Bagi para filsuf, Tuhan harus dibersihkan dari segala berkehitungan (muta’addidah),
termasuk segala sifat yang oleh kaum asy-‘Ariyah selama ini dilekatkan pada
Tuhan. Jika sifat ada bersamaan dengan Tuhan maka ada saling ketergantungan
antar keduanya, dualisme Tuhan adalah hal yang mustahil, apalagi jika ditambah
dengan dengan af’al.
Al-Ghazzali menolak argument ini, dan menyatakan kelemahan pendapat para
filsuf tentang ketiadaan sifat Tuhan. Bagi al-Ghazzali hal ini ditolak karena
sifat adalah hal yang niscaya ada pada dzat tapi bukan berarti ia menjadi
sesuatu yang lain dari dzat.
7.
Sanggahan terhadap teori bahwa dzat Tuhan mustahil didefinisikan.
Para Filsuf berpendapat definisi itu mengandung dua aspek; jins
(genus) dan fashl (diferensia), dan Tuhan adalah dzat yang tidak mungkin ber-musyarakah
dalam jins dan ia tidak dibagi dalam fashl. Keduanya adalh
komposisi dan Tuhan mustahil berkomposisi.
Bagi al-Ghazzali bisa saja komposisi “bagian-bagian” itu terjadi dari segi
definitive. Hal ini karena
al-Ghazzali menerima adanya sifat-sifat bagi Tuhan.
8. Batalnya pendapat Filsuf: Wujud Tuhan sederhana, maksudnya wujud Tuhan
adalah wujud yang murni, bukan mahiyah(hakikat sesuatu-al-kautsar) dan bukan
hakikat yang wujud Tuhan disandarkan padanya. Tapi wujud
al-wajib seprti mahiyah bagi yang lainnya.
Al-Ghazzali menyangkal semua analogi folosuf baik tentang mahiyah, hakikat,
dan wujud al-wajib yang menurut al-Ghazzali mengulangi kerancuan yang sama.
Al-Ghazli mempertanyakan segala metode yang dipakai dalam menelurkan pemikiran
tersebut dan menganggapnya sebagisuatu kesalahan para filsuf.
9. Ketidakmampuan filsuf untuk membuktikan, dengan arumen rasional bahwa Tuhan
bukan tubuh (jism).
Hal ini berangkat dari adanya
tubuh eternal (jism qodim) yang diterima oleh kalangan Filsuf. Hal ini
bagi al-Ghazali adalh hal yang rancu karena jism adalah hadist karena ia
tersusun dari diferensia (fashl-fashl). Jika Filsuf mengelak dengan
mengatakan bahwa wajib al-Wujud adalah satu jadi ia tidak dapat dibagi-bagi
seperti yang lainnya. Hal ini pun menurut al-Ghazzali adalah logika yang
dipaksakan karena hal iu berangkat dari persepsi tentang kemustahilan komposisi
(tarkib), dan penolakan terhadap komposisi didasarkan pada penolakan
terhadap mahiyah (kuiditas-terj).
10. Ketidakmampuan Filsuf untuk membuktikan , melalui dalil rasional, adanya
sebab atau pencipta alam.
Hal ini bagi al-Ghazzali masih berupa kerancuan para Filsuf yang
mempertahankan pendapat tentang ke qodim an Alam tapi ia diciptakan. Menurut
al-Ghazzali mengapa mereka tidak berkata seperti kaum Atheis saja yang
mengatakan Alam itu qodim dan tiada memerlukan pencipta, karena suatu sebab
hanya diperlukan bagi hal yang bermula di dalam waktu (hadist).
11. Kelemahan
pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa Tuhan mengetahui yang lainnya dan
bahwa Dia mengetahui Species (al-anwa) dan Genera (jins) secara
universal (bi naui kulliat).
Para filsuf mengatakan bahwa Tuhan mengetahui al-Anwa dan al-Jins
secara kulliat karena emanasi yang terjadi padanya hanya secara
universal bukan individu-individu atau pribadi-pribadi.
Akan tetapi al-Ghazali memberikan sanggahan bahwa Tuhan menciptakan alam
dengan Kehendaknya, maka alam menjadi objek kehendak, sangat mustahil objek kehendak
tidak diketahui oleh yang berkehendak.
12. Ketidakmampuan
para filsuf untuk membuktikan bahwa Tuhan juga mengetahui Dirinya sendiri.
Persoalan ini berpangkal pada pendapat para filsuf yang mengatakan bahwa
alam beremanasi secara alami, bukan atas kehendak, seperti emanasi sinar
matahari dari matahari.
Sanggahan yang diberikan oleh al-Ghazali adalah apabila sesuatu yang
beremanasi dari Tuhan mengetahui dirinya sendiri bagaimana mungkin Tuhan
sebagai asal emanasi tidak mengetahui diri-Nya sendiri, karena Tuhan menyadari
akan adanya emanasi tersebut, sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.
13. Gugurnya
pendapat para Filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui Partikularia-partikularia
yang dapat dibagi-bagi sesuai dengan pembagian waktu ke dalam “telah”, “sedang”
dan “akan”.
Pendapat para filsuf bahwa Pengetahuan mengikuti objek pengetahuan, apabila
objek berubah, maka pengetahuan juga berubah, apabila pengetahuan berubah maka
subjek pun juga berubah. Perubahan yang terjadi pada suatu benda akan
menyebabkan pengetahuan atas benda itu juga berubah demikian juga subjek yang
mengetahui perubahan itu. Akan tetapi, mustahil Tuhan berubah karenanya Ia
tidak mengetahui perubahan-perubahan sesuatu yang terjadi dalam waktu.
Tak sesuatupun
yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya, tetapi pengetahuan-Nya tentang hal
tersebut tetap sama, baik sebelum terjadinya suatu perubahan, sedang terjadi
maupun setelah terjadinya. Inilah argumen al-Ghazali mengenai hal itu.
Ditambahkan
oleh al-Ghazali bahwa pendapat para filsuf mengenai hal ini bertentangan dengan
pendapat mereka sebelumnya yang mengatakan bahwa alam qadim, sesuatu
yang qadim tidak dapat berubah. Mengapa ia
berubah? Maka para filsuf harus mengubah pendapatnya mengenai keqadiman
alam.
14. Ketidakmampuan
para filsuf untuk membuktikan bahwa langit adalah makhluk hidup (hayawan),
dan mematuhi Tuhan melalui geraknya.
Langit adalah
makhluk hidup dan mempunyai suatu jiwa yang berhubungan dengan tubuh langit
sebagaimana jiwa kita berhubungan dengan tubuh kita. Ini dibuktikan dengan
adanya gerak langit. Gerak langit bukanlah gerakan alami[7] (at-tabi’iyyah), bukan pula gerakan terpaksa
(digerakkan oleh “yang lain”) akan tetapi gerakan volisional (irady
wa nafsany)[8].
Mengenai ungkapan ini, al-Ghazali menyatakan bahwa langit bukanlah makhluk
hidup, karena Gerakan langit adalah gerakan “paksaan”[9] dan kehendak tuhan sebagai prinsipnya.
15. Sanggahan
terhadap yang filsuf sebut tujuan yang menggerakkan langit.
Gerakan langit menurut para filsuf bertujuan untuk taqarrub
(mendekatkan diri) pada Allah. Pengertian yang dimaksud adalah mendekatkan diri
dalam hal sifat-sifat bukan dalam hal ruang, sebagaimana kedekatan malaikat
pada-Nya, karena ada-Nya sebagai wujud yang sempurna berbeda dengan
bertentangan dengan segala sesuatu yang tidak sempurna. Dan malaikat-malaikat
yang dekat (al-muqarrabun) adalah sesuatu yang mendekati
kesempurnaan-Nya. Kesempurnaan langit didapat melalui penyerupaan (tasyabbuh)
dengan Prinsip Pertama melalui ; penempatan yang sempurna dalam semua posisi
yang mungkin baginya.
Sanggahan yang
diberikan oleh al-Ghazali seperti yang diungkapkannya pada persoalan sebelumnya
(14). Ia menambahkan, bahwa gerakan langit tidak menunjukkan bahwa mereka
(langit) bertujuan untuk mendekati kesempurnaan dalam artian kesempurnaan
Tuhan, karena tidak ada bedanya antara posisi mereka di suatu tempat dan
ditempat yang lain yang menunjukkan kesempurnaan. Semuanya
hanya perpindahan posisi saja.
16. Kelemahan teori
para filsuf bahwa jiwa-jiwa langit mengetahui semua partikularia-partikularia
yang bermula (al-juziyyat al-haditsah) didalam alam ini.
Persoalan ini bermula ketika para filsuf mengatakan bahwa malaikat langit
adalah jiwa-jiwa langit, yang menjadi perantara Tuhan dalam mengisi al-lawh
al mahfudl. Sanggahan yang diungkapkan oleh al-Ghazali kemudian adalah
bagaimana mungkin sebuah makhluk dapat mempunyai pengetahuan tentang
partikularia-partikularia (juz’iyyat) yang tak terbatas.
Ditambahkan
oleh al-Ghazali hal yang paling kacau adalah pernyataan para filsuf bahwa
apabila falak mempunyai gerakan-gerakan partikular, maka ia juga mempunyai
representasi subordinat-subordinat dan konsekuensi-konsekuensi dari gerakan
partikular itu.
Seperti seorang manusia yang bergerak mesti mengetahui gerakan-gerakannya
dan konsekuensi atas gerakannya dalam hubungannya dengan tubuh-tubuh yang lain
atau makhluk-makhluk yang lain dan itu tidak mungkin.
17. Sanggahan terhadap para Filsuf akan kemustahilan Perpisahan dari sebab
alami peristiwa-peristiwa.
Menurut al-Ghazali, hubungan yang dipeercaya sebagai sebab dan akibat
adalah tidak wajib. Semua hubungan sebab dan akibat terjadi karena memang Tuhan
telah menciptakannya demikian adanya. Seperti, Dia kuasa menciptakan
kekenyangan tanpa makan, seperti contoh ketika Ibrahim tidak terbakar api. Hal
itu tidak mungkin terjadi kecuali meniadakan panas dari api atau Tuhan telah
menciptakan suatu sifat tertentu yang dapat mencegah timbulnya sebuah akibat
dari suatu sebab.
18. Tentang ketidakmampuan para Filsuf untuk memberikan
demonstrasi rasional tentang teori mereka bahwa jiwa manusia adalah Substansi
spiritual yang ada dengan sendirinya; tidak menempati ruang; bukan tubuh; dan tidak terpateri dalam tubuh; dan
ia pun tidak berhubungan dengan tubuh dan tidak pula terpisahkan darinya
sebagaimana tuhan tidak di luar alam dan tidak didalam alam dan demikianlah
malaikat-malaikat.
Yang menjadi dasar para filsuf dalam hal ini adalah ketidakmungkinan
pengetahuan yang ‘satu’ yang rasional terpateri dalam tubuh, karena jika hal
itu maka substratum fisik harus juga membagi pengetahuan itu. Begitu juga jiwa
sebagai sesuatu yang tunggal tidak dapat menempati tubuh yang merupakan sesuatu
yang dapat dibagi-bagi.
Pendapat para
filsuf tentang pengetahuan seperti tampak pada silogisme berikut :
a. Apabila substratum pengetahuan adalah suatu tubuh yang
dapat dibagi-bagi, maka pengetahuan didalamnya akan terbagi-bagi.
b. Tetapi pengetahuan yang ada
didalamnya tidak dapat terbagi-bagi
c. Karenanya substratum itu adalah
bukan tubuh.
Menurut al-Ghazali yang menjadi kesalahan para filsuf adalah pemahaman
mereka tentang pengetahuan yang akan terbagi oleh pembagian substratumnya.
Seperti contoh persepsi indrawi (pengetahuan inderawi) sebagai tampilan atas
apa yang dipersepsi dalam jiwa orang yang melakukan persepsi dimana jiwa tetap
membutuhkan organ-organ badan sebagai penginderanya.
19. Kelemahan tesis para filsuf bahwa setelah terwujud
jiwa manusia tidak dapat hancur; dan bahwa watak keabadiannya mambuatnya
mustahil bagi kita untuk membayangkan kehancurannya.
Al-Ghazzali memberikan sanggahan
mengenai hal ini dalam dua segi ;
Pertama, dalam persoalan yang ke 18 telah
disebutkan oleh para filsuf bahwa jiwa tidak terdapat dalam tubuh, hal ini
telah terbantahkan.
Kedua, meskipun mereka tidaka menganggap
bahwa jiwa ada dalam tubuh akan tetapi terbukti ada suatu hubungan antara jiwa
dengan tubuh, sehingga suatu jiwa bergantung pada wujudnya tubuh. Hubungan antara jiwa dan tubuh suatu syarat bagi
eksistensi jiwa.
20. Sanggahan
terhadap penolakan para Filsuf akan kebangkitan tubuh-tubuh.
Menurut
al-Ghazzali, agama telah mengajarkan kita untuk mempercayai kebangkitan kembali
(ba’ts wa nusyur) yang akan dibarengi dengan kemunculan kembali
kehidupan dan dengan kebangkitan dimaksudkan kembali kebangkitan tubuh-tubuh,
dan ini mungkin dengan mengembalikan jiwa kedalam tubuh, karena jiwalah yang
membentuk diri kita ini meskipun tubuh selalu mengalami perubahan.
4. Tiga
Golongan Kaum Filosof Menurut Al-Ghazzali
Selanjutnya, penting saya kemukan disini bahwa Al-Ghazzali dalam bukunya Al-Munqiz min ad-Dhalal, ia mengelompokan folosof dalam
tiga golongan;[10]
- Filosof Materialis (Dahriyyun)
Mereka adalah para filosof yang menyangkal adanya TUhan, sementara itu Kosmos
ada dengan sendirinya.
- Filosof Naturalis (Thobi’iyyun)
Mereka
adalah para filosof yang melaksanan berbagai penelitian alam. Melalui
penyelidikan tersebut, mereka menyaksikan keajaiban-keajaiban alam. Sehingga
memaksa meraka untuk mengakui adanya sang Pencipta di ala mini.kendati
demikian, mereka tetap mengingkari Allah dan Rasul-Nya dan Hari Kebangkitan.
Mereka tidak mengenal pahala dan dosa, sebab meraka hanya mengikuti
naluri-nafsu hewani belaka.
- Filosof Ketuhanan (Ilahiyun)
Mereka adalah filosof Yunani, seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles.
Aristoteles telah menyanggah filosof sebelumnya (materialisme-Atomisme, dan
Naturalisme), namun ia sendiri tidak dapat membebaskan diri dari sisa-sisa
kekafiran berpikir dank ke-heredoksian (bid’ah agama). Oleh karena itu,
ia sendiri menurut Al-Ghazali termasuk kafir, begitu juga Al-Farabi dan Ibnu
Sina yang mengikuti dan menyebarkan pikiran Aristoteles ke dunia Islam.
DAFTAR PUSTAKA
“Review Tahafut aL-Falasifah”, oleh:Ihsan Maulana dan Arif Hidayat
waktu mengunduh: Senin, 26 Mei
2008 pkl 11.20
ü Munir Mulkhan, Abdul. 1991. Mencari Tuhan dan Tujuh
Jalan Kebebasan : Sebuah Esai Pemikiran Imam Al-Ghazali. Jakarta
: Bumi Aksar
ü
Zar, Sirajuddin. 2004, Filsafat Islam : Filosof dan Filsafatnya,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
[1] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A, Filsafat Islam :
Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal;
155
[2] Ibid, hal; 158
[3] Ibid, hal; 156
[4] Ibid, hal; 158
[5] Ke-enam karya Al-Ghazzali tersebut diatas merujuk pada Sirajuddin, Ibid, hal : 159
[6] Seluruh dua puluh point sangahan Al-Ghazali terhadap para filosof yang tertuang dalam bukunya “At-Tahafut Falasifah” diambil dari; http://ihsanmaulana.wordpress.com/2007/11/28/reviuw-tahafut-al-falasifah/ waktu mengunduh: Senin, 26 Mei 2008 pkl 11.20 Review Tahafut aL-Falasifah, oleh:Ihsan Maulana dan Arif Hidayat
[7] Gerakan alami adalah gerakan perpindahan tempat, apabila sesuatu itu telah menempati suatu ruang yang cocok baginya, maka dia tidak akan bergerak lagi
[8] Gerakan yang disadari dan dikehendaki.
[9] Gerakan yang dilakukan yang didasarkan pada adanya “paksaan” dari luar benda itu
[10] Sirajuddin Zar, Op. Cit, hal; 160
[3] Ibid, hal; 156
[4] Ibid, hal; 158
[5] Ke-enam karya Al-Ghazzali tersebut diatas merujuk pada Sirajuddin, Ibid, hal : 159
[6] Seluruh dua puluh point sangahan Al-Ghazali terhadap para filosof yang tertuang dalam bukunya “At-Tahafut Falasifah” diambil dari; http://ihsanmaulana.wordpress.com/2007/11/28/reviuw-tahafut-al-falasifah/ waktu mengunduh: Senin, 26 Mei 2008 pkl 11.20 Review Tahafut aL-Falasifah, oleh:Ihsan Maulana dan Arif Hidayat
[7] Gerakan alami adalah gerakan perpindahan tempat, apabila sesuatu itu telah menempati suatu ruang yang cocok baginya, maka dia tidak akan bergerak lagi
[8] Gerakan yang disadari dan dikehendaki.
[9] Gerakan yang dilakukan yang didasarkan pada adanya “paksaan” dari luar benda itu
[10] Sirajuddin Zar, Op. Cit, hal; 160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar