Rabu, 14 Desember 2011

Membahas Pengertian dan Ruang Lingkup Tasawuf

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
              Manusia sebagaimana disebutkan Ibnu Kholdun memiliki panca indera (anggota tubuh), akal pikiran dan hati sanubari. Ketiga potensi ini harus bersih, sehat, berdaya guna dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk dapat menghasilkan kondisi seperti ini ada tiga bidang ilmu yang berperan penting. Pertama fikih, berperan dalam membersihkan dan menyehatkan panca indera dan anggota tubuh. Istilah yang digunakan fikih untuk pembersihan dan penyehatan panca indera dan anggota tubuh ini adalah thaharah (bersuci). Kedua filsafat, berperan dalam menggerakkan, menyehatkan dan meluruskan akal pikiran. Karenanya filsafat banyak berurusan dengan dimensi metafisik dari manusia, dalam rangka menghasilkan konsep-konsep yang menjelaskan inti tentang sesuatu. Ketiga tasawuf, berperan dalam membersihkan hati sanubari. Karenanya tasawuf banyak berurusan dengan dimensi esoterik (batin) dari manusia.
              Oleh karena itu ilmu tasawuf sangat diperlukan dalam rangka membersihkan hati sanubari. Selain sebagai suatu sarana dalam pembersihan hati sanubari tersebut, tasawuf juga merupakan metode pendekatan diri kepada sang pencipta. Karenanya dibutuhkan berbagai pengetahuan tentang tasawuf itu sendiri dan juga pembelajaran mengenai pembagian yang mendalam mengenai tasawuf.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian ilmu tasawuf ?
2.      Apakah ruang lingkup ilmu tasawuf ?
3.      Apa saja pengertian/istilah dalam ilmu tasawuf ?





1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk dapat mendefinisikan pengertian ilmu tasawuf.
2.      Mampu memberikan dan memaparkan tentang ruang lingkup ilmu tasawuf.
3.      Mengetahui tentang pengertian/istilah dalam ilmu tasawuf.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Ilmu Tasawuf
              Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah), (orang yang ikut pindah dengan nabi dari mekah ke madinah), saf (barisan), sufi (suci), sophos (bahasa Yunani: Hikmat), dan suf (kain wol).
              Keseluruhan kata ini bisa-bisa saja dikaitkan dengan tasawuf. Kata ahl al-suffah (orang yang ikut pindah dengan Nabi dari mekah ke madinah) misalnya menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan jiwa dan raganya, harta benda dan lain sebagainya hanya untuk Allah. Mereka ini rela meninggalkan kampung halamannya, rumah, kekayaan dan harta benda lainnya di mekah untuk hijrah bersama Nabi ke madinah. Tanpa ada unsur iman dan kecintaan pada Allah, tak mungkin mereka melakukan hal yang demikian. Selanjutnya kata saf juga menggambarkan orang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah kepada Allah dan melakukan amal kebajikan. Demikian pula kata sufi (suci) menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya daari berbuat dosa dan maksiat, dan kata suf (kain wol) menggambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan dunia. Dan kata sophos (bahasa Yunani) menggambarkan keadaan jiwa yang senantiasa cenderung kepada kebenaran.
              Dari segi linguistik (kebahasaan) ini, maka dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.[1]
              Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang dinakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai makhluk yang bertuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.
              Selanjutnya jika sudut pandan yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai uapaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang bertuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dangan Tuhan.[2]
              Jika tiga definisi tasawuf tersebut di atas satu dan lainnya dihubungkan, maka segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental rohaniah agar selalu dekat dengan Tuhan. Inilah esensi atau hakikat tasawuf.
              Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdy mengatakan bahwa tasawuf adalah suatu imu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat yang buruk dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhaan Allah dan meniggalkan larangannya menuju kepada perintahnya.[3]





2.2  Ruang Lingkup Ilmu Tasawuf
              Tasawuf adalah nama lain dari “Mistisisme dalam islam”. Di kalangan orientalis barat dikenal dengan sebutan “Sufisme”. Kata “Sufisme” merupakan istilah khusus mistisisme islam. Sehingga kata “sufisme” tidak ada pada mistisisme agama-agama lain.
              Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran, bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontak komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk “Ijtihad” (bersatu) dengan Tuhan. Demikian ini menjadi inti persoalan “Sofisme” baik pada agama islam maupun di luarnya.
              Dengan pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa “tasawuf/mistisisme islam” adalah suatu ilmu yang mempelajari suatu cara, bagaimana seseorang dapat mudah berada di hadirat Allah SWT (Tuhan). Maka gerakan “kejiwaan” penuh dirasakan guna memikirkan betul suatu hakikat kontak hubung yang mampu menelaah informasi dari Tuhannya.
              Tasawuf atau mistisisme dalam islam beresensi pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk hidup “kezuhudan” (menjauhi kemewahaduniawi). Tujuan tasawuf untuk bisa berhubungan langsung dengan Tuhan. Dengan maksud ada perasaan benar-benar berada di hadirat Tuhan. Para sufi beranggapan bahwa ibadah yang diselenggarakan dengan cara formal belum dianggap memuaskan karena belum memenuhi kebutuhan spiritual kaum sufi.
              Dengan demikian, maka tampaklah jelas bahwa ruang lingkup ilmu tasawuf itu adalah hal-hal yang berkenaan dengan upaya-upaya/cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus secara langsung dari Tuhan.



2.3  Beberapa Istilah dalam Ilmu Tasawuf
1.      Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.[4] Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.
Seperti telah disinggung diatas, bahwa maqam-maqam yang dijalani kaum sufi umumnya terdiri atas;
a.       Taubat
Taubat berasal dari bahasa arab taba, yatubu, taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh untuk tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan.
b.      Cemas dan harap (khauf dan raja’)
Menurut Hasan Al-Bashri, yang dimaksud dengan cemas atau takut adalah suatu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan sering lalai kepada Allah. Karena sering menyadari kekurang sempurnaannya dalam mengabdi kepada Allah, timbullah rasa takut dan khawatir apabila Allah akan murka kepadanya.[5]
c.       Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.
d.      Faqr (fakir)
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan kaum sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rizki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
e.       Sabar
Secara harfiah sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Nun al-Mishry, sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi.
f.       Ridha (rela)
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution mengatakan bahwa ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang qada dan qadar Allah. Menerima qada dan qadar Allah dengan  senang hati.
g.      Muraqabah
Kata ini mempunyai arti yang mirip dengan introspeksi atau self correction. Dengan kalimat yang lebih populer dapat dikatakan bahwa muraqabah adalah siap dan siaga setiap saat untuk meneliti keadaan diri sendiri.
2.      Hal
Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang biasa disebut sebagai hal adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-Tawadlu), patuh (al-Taqwa), ikhlas (al-Ikhlas), rasa berteman (al-Uns), gembira hati (al-Wajd), berterima kasih (al-Syukr).
Hal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.[6]
3.      Mahabbah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yahibbu, mahabbatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Pengertian mahabbah dari segi tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh al-Qusyairi, yaitu bahwa mahabbah adalah keadaan jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya kemutlakan Allah SWT oleh hambanya, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Allah SWT.
4.      Ma’rifah
Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Selanjutnya ma’rifah digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam arti sufistik ini, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.
5.      Fana dan Baqa
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud sesuatu. Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada diri.menurut pendapat lain, fana berarti bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat pula berarti hilangnya sifat-sifat yang tercela.
Sebagai akibat dari fana adalah baqa. Secara harfiah baqa berarti kekal. Sedangkan baqa yang dimaksud oleh para sufi adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia.

6.      Ittihad
Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Dalam situasi Ittihad yang demikian itu, seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan.
7.      Hulul
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah Hulul.
8.      Wahdat al-Wujud
Wahdat al-Wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud. Menurut pandangan para sufi, wahdat al-wujud adalah paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud.
9.      Insan Kamil
Insan kamil berasal dari bahasa arab, yaitu dari dua kata; insan dan kamil. Secara harfiah, insan berarti manusia, dan kamil berarti yang sempurna. Dengan demikian, insan kamil berarti manusia yang sempurna. Insan kamil pula lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya.
10.  Tariqat
Dari segi bahasa tariqat berasal dari bahasa arab thariqat yang artinya jalan, keadaan, aliran dalam garis sesuatu. Lebih khusus lagi tariqat di kalangan sufi berarti sistem dalam rangka mengadakan latihan jiwa, membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan memperbanyak zikir dengan penuh ikhlas semata-mata untuk mengharapkan bertemu dan bersatu secara ruhiah dengan Tuhan.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
          Tasawuf merupakan pengetahuan yang berperan dalam membersihkan hati sanubari. Karenanya tasawuf banyak berurusan dengan dimensi esoterik (batin) dari manusia. Dan ruang lingkup ilmu tasawuf itu adalah hal-hal yang berkenaan dengan upaya-upaya/cara-cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus secara langsung dari Tuhan.
          Dalam pembahasan tasawuf itu sendiri pula dikenal beberapa istilah yang dipelajari dalam metode bertasawuf, diantaranya yaitu; maqamat, hal, mahabbah, ma’rifah, fana dan baqa, ittihad, hulul, wahdat al-wujud, insan kamil dan tariqat.



[1] .  Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta; Rajawali Pers, 2010), h.179
[2] .  Ibid., h. 180.
[3] .  H.A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung; Pustaka Setia, 2005), h. 203.
[4] .  Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta; Hidakarya Agung, 1990), h. 362.
[5] .  Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung; Pustaka Setia, 2004), h. 58.
[6] .  Abuddin Nata, Op.cit., h. 204.


5 komentar: